Monday, August 29, 2011

Lagi, harus merenungi kata-kata orang tua


Bermula dari hasil pertemuan dengan panitia HUT RI di RW.13 Sukabirus.Hasilnya benar-benar diluar dugaan.Hanya ada kata diundur.Diundur.Walhasil, jadwal agenda pulang yang sudah disusun matang jauh-jauh hari pun harus dan kudu dirancang ulang.Total.


Awalnya saya mengagendakan pulang tuk tanggal 22 Agustus 2011, karena memang hari itu sudah bebas agenda di kampus.Jadilah saya agendakan tanggal 20, dua hari lebih awal.Agendanya diganti dengan berpetualang pengalaman di Garut dengan teman-teman PUDING sampai hari Rabu. *Baca kisahnya ya... part 1,part 2, part 3, dan part 4.


Sepulangnya dari Garut, saya masih harus mengurusi laporan gladi yang memang sudah mepet 'garismati': hari Jum'at. Lumayan kelimpungan lah mengerjakan 'sendiri' dengan koneksi internet kostan yang tiba-tiba mati.Benar-benar cobaan yang menguras pikiran. Plus dengan kondisi kaki yang masih belum sehat betul akibat keteledoran naik motor. Jatuh.


Tapi Allah memang sangat baik.Baik sekali malah.Maha baik.Laporan selesai tepat waktu. Alhamdulillah... Fix jadi pulang tanggal 20. Pasti.


Hari sebelumnya, Jum'at. H-1 sebelum pulang, ada eval PUDING tentang acara empat hari silam: ke Garut. Banyak masukan yang perlu diperbaiki itu pasti.Dan akhirnya, banyak 'PR' yang perlu dikerjakan.Tentunya.


Selesai eval, matahari sudah sepenggal nyawa: nyaris maghrib. PUDING dapat undangan buka bareng dengan Teteh Ibunya Lutfan.Tempatnya dekat.10 menit dengan motor.Mungkin kurang. Alhamdulillah..,Tetehnya baik. Kami sharing sepuasnya.Dapat info dan cukup masukan yang berarti pula.Plus beberapa baju (mungkin) karna Tetehnya juga sekalian baju gamis.*promosi.Hehehe. Puas dengan tingkah lucu Lutfan (nama anak Tetehnya), dan puas cerita-ceritanya, kami pulang. Jam 9 malam.


Saya berdalih tuk packing tuk pulang besok pagi. Kenyataannya sesampainya di kostan justru sebaliknya: setelah solat malah main game. Parah. Selesainya sudah ditebak apa: tidur. Parah banget.


Seperti biasa, saya dibangunin Ibu Kost tuk sahur.Tapi ada yang aneh, jam 4 beliau baru mulai ngebangunin orang yang suka tidur malam ini. Beliau bangun kesiangan, akhirnya hanya masak sekenanya yang bisa siap saji: mie instan dengan telur bulet. Alhamdulillah, memang sudah dua Ramadhan ini tiap sahur, anak kostan selalu dapat sahur gratis dari Ibu Kost.


Sahur, shubuh, dan packing.Tapi entah kenapa saya ketiduran sampai jam 8 pagi. Parah. Agenda pulang tertunda sekian jam. Mandi secepatnya, beres-beres kamar, pamitan dan cao. Jam 9.45 saya bertolak dari kostan. Saya tidak langsung ke Brebes, tapi sempat membeli oleh-oleh terlebih dahulu ke kota. Sip, sudah komplit, I'm coming home....


Sempat lihat jam tangan, jam 10.16 masih di perempatan Carefour. Cukuplah tuk bisa buka di rumah bareng Bapa Ibu dan keluarga.Pikir saya dalam hati.

Satu jam pertama memang tidak ada sesuatu yang aneh. Hanya perasaan 'aneh' saja yang selalu mampir: mulai dari belokan-belokan yang terasa berat, nyaris terserempet mobil, banyak kendaraan yang membunyikan klaksonnya lah, dan Dialga (nama motor saya) yang terkadang mati mesin.

Dan puncaknya adalah ketika baru sampai sepertiga perjalanan.Tepat waktu Dzuhur. Memang sudah saya niatkan akan berhenti di masjid terdekat. Tapi 10 menit lebih belum ketemu masjid.Karena memang masih dalam keadaan gunung, bukan daerah pemukiman.Belum.Masih harus naik turun dulu.Sampai di suatu turunan, saya tetap ngotot mempertahankan gas, tidak mengurangi kecepatan Dialga.Turunan kemudian berbelok ke kiri sedikit. Tentu saya menyesuaikan stang ke kiri, tapi...

GUBRAK..;*#&@*+!*;-#+@'

Dialga jatuh, saya terbanting ke kiri tapi tubuh masih menempel ke badan Dialga, tak mau melepaskannya.Berharap bisa bertahan.Akhirnya tangan sarung tangan robek parah. Apalagi tangannya: meninggalkan luka yang menganga tepat dipangkal belakang jari manis. Sakit, perih.


Kaki kiri pun tak luput.Lututnya yang kena.Meninggalkan dua luka yang parah perihnya.Dan kepala bagian atas kiri pun tergores.Bukan luka goresan berbentuk petir layaknya Harry Potter, hanya luka ringan bergaris merah yang pedih.Bibir atas kiri pun demikian.Sakit.

Payah.Alhamdulillah ada warga yang menolong.Saya tetap ngotot lanjut perjalanan sampai menemukan masjid tak jauh dari tempat saya jatuh.Istirahat sambil menenangkan pikiran.Wudhu perih, sholat pun duduk. Argh...,parah, masih ada 2/3 perjalanan lagi yang harus saya lalui. Tapi badan masih mengerang sakit dengan luka-lukanya. Astaghfirullah....

Selesai Dzuhur, saya istirahat di serambi masjid. Seorang bapa seumuran 40 tahunan memulai pembicaraan: "jatuh dimana dek?", "disana Pak, pas turunan.,ngga jauh dari sini" jawab saya dengan senyum-senyum. Entah ingin menunjukkan sikap ramah, atau malah menahan perih. Akhirnya beliau membawakan perban dan plaster dari mobilnya. "nih dek, Brebes masih jauh, lukanya ditutup ja biar ngga nambah perih. Saya ngga punya Betadine, tapi Ibu yang di bawah katanya punya, coba minta aja kesana." saya hanya bilang terima kasih berulang-ulang tuk kebaikannya.

Nurut kata Bapa tadi, saya minta Betadine ke toko kelontong di bawah.Ibunya masuk, dan keluar membawa botol yang berisi cairan merah. Labelnya 'BET' yang ditulis seadanya tuk pembeda. "ini tuh Betadine khusus buat operasi Dek, cepet ngobatinnya. Ntar lukanya cepet kering, tapi tahan ya perihnya".Si ibu langsung ngolesin obat yang dianggap paling mujarab itu ke luka-luka yang baru saja saya dapat.Benar.Perihnya memang sangat. Sambil beliau cerita tentang beberapa kecelakaan lain yang sampai membawa kematian, juga di daerah itu. Membuat saya tetap bersyukur masih selamat.Sangat bersyukur dan beruntung malah.

Huft...,setelah dirasa cukup dengan obat mujarabnya, saya terpaksa berbuka:hanya meminum segelas air putih saja. Karena memang saya merasa pusing dan mual. Membuat perasaan akan pingsan dan muntah secara bersamaan. Tapi untung tetap saya bertahan.Setelah berterima kasih dan dibalas dengan pesan 'hati-hati'. Sampai akang-akang tukang parkir pun berpesan hal yang sama: "Ati-ati ya mas..". Tentu.Kali ini saya bakal lebih dan lebih berhati-hati.Jawab saya dalam hati.


Hal berikutnya malah lebih parah.Menahan sakit dan perih sambil harus lebih berkonsentrasi ke jalan. Pekerjaan yang sangat berbeda dan susah untuk dilakukan secara bersamaan. Tapi entahlah, ada perasaan lega dalam perjalanan 2/3 ini.Saya tidak usah repot-repot nyari alesan tentang Dialga yang dulu pernah rusak parah.Baca cerita lengkapnya juga ya.Inilah jawaban dari Allah untuk saya.Ya, setelah nyaris satu bulan mencari alasan yang tepat.Dan mereka pun belum tahu tentang kejadian pertama. Dan semoga tidak akan tahu. Karna sambutan di rumah tentu saja dengan kepanikan dan kekhawatiran tentang kondisi saya.Tentu Dialga dinomor duakan.Tertutup oleh kejadian terakhir.


Lagi, akhirnya saya teringat wasiat (kata-kata) Mbah Putri (Nenek) sebelum saya berangkat beberpa bulan yang lalu.Tepat sebelum Dialga belum diperbolehkan dibawa ke Bandung.
"Sing sabar dadi wong.., yen ana sing nyalip y kudu sabar., ning dalan mah wong pada kebut-kebutan edan. Sing sabar bae y Tong..."

"Yang sabar saja jadi orang., kalo ada yang nyalip y tetep harus sabar., di jalan mah orang pada gila kebut-kebutan. Yang sabar saja y Nak..."

Begitulah inti wasiatnya.Sepertinya akhir-akhir ini memang saya sedang bebal.Jujur. Saya sempat emosi dan sebel ketika pulang kemarin dengan salah satu motor yang sepertinya dia juga ingin pulang ke kampung halamannya. Motor Matic.Selalu menghalangi pandangan.Ugal-ugalan (menurut saya).Tidak mau disalip.Bandel.Lambat (relatif). Dan itu sampai setengah jam lebih berlangsung. BT.


Akhirnya karena memang sedang bebal ditambah dengan emosi jalanan.Saya tancap gas agar bisa mendahului si Matic di suatu kesempatan yang langka.Berhasil.Tetap saya ajak Dialga dengan kecepatan naik. Yes. Tertinggal jauh si Matic.Belum puas, tetap saja Dialga saya kendarai dengan kecepatan yang (relatif) tinggi.Sampai akhirnya saya dapat luka ini.Payah.

Well.., ini bebal kesekian kalinya mengacuhkan (atau melupakan) nasihat orang tua. Semoga yang terakhir.Semoga.Karna saya tahu, jatuh itu sakit. Dan proses penyembuhan pun sakit. Bahkan setelahnya mungkin harus sakit (lagi).
Tapi percayalah, setelah sakit itu ada kenyamanan dan nikmat tersendiri yang Allah siapkan.

Percayalah.

Monday, August 22, 2011

Garut, Sukalaksana 02 Part Empat (Habis)


Selesai lomba cerdas cermat, langsung saya dzuhur. Dan membantu teman-teman lain di lapangan bola sepak: game terakhir sebelum penutupan. Parade game campuran: menyusun puzzle, balap kelereng, balap balon, masukkin pensil ke lubang dan terakhir pukul air dalam plastik. Seru, kocak, dan rame. Apalagi yang bagian akhir, sensasi perjuangan tuk memecahkan kantong air terasa sekali. Walau bahaya, tapi asyik. Hahahaha. Seperti rasa bangga keluar tak terkendali say tongkat bertemu dengan kantong air yang menghasilkan bunyi ledakan kecil diiringi cipratan air yang keluar bebas. ‘Aaahhh., lega’ parade game selesai.

Ditengah-tengah waktu permainan tiba-tiba ada anak yang mimisan. Darah mengucur dari kedua lubang hidungnya sampai ke bibir. Pemandangan yang sangat tidak kita harapkan. “Sariawan, sariawan” banyak anak yang menyebutnya karna sariawan. Loh., kok sariawan? Halah, mungkin karna darahnya sampai ke bibir, jadi mereka anggap itu sariawan. Kesalah besar. Orang sunda menyebut mimisan dengan sariawan. Hahaha. Memalukan saya ini. Tapi entah kenapa, perasaan yang sama satu tahun silam kembali merasuki saya: Orang bilang jiwa FMT (Food and Medical Team). Hehehe. Entahlah, reflek sepertinya. Saya bawa si anak yang mimisan (sariawan maksudnya) ke Bapak-bapak yang sedari tadi ikut menonton dari atas dekat lapangan voli.

Parade game selesai. Anak-anak kembali ke ruang kelas tempat cerdas cermat (lagi) tuk penutupan. Karna memang belum ada orang yang stand by di ruang kelas, saya inisiatif tuk kesana. Naik ke atas. Nyaris sampai di atas, Mba Eva manggil: “Dit, sini loe!!”. Buset galak amat. Pikir saya dalam hati. Argh, parah, manggil pas nyaris sampai atas. Capek bung. Kesal sekali rasanya. Astaghfirullah.., saya langsung kembali ke bawah tuk menemui Mba Eva dan lain-lain: Ina, Ridhi dan Habib. Ternyata tuk persiapan penutupan. Saya dapet bagian tuk membaca puisi part dua. “Wow., ngga nyangka”. Dulu memang waktu SD saya sering membaca puisi, hanya juara tingkat SD saja. Nostalgia sekali. OK lah. InsyaAllah siap walaupun sudah hampir delapan tahun tidak menyentuh puisi lagi.

Sebelum penutupan, pemutaran video flashback. Hahaha. Lucu, keren, asyik dan rame. Merasa bagian-bagian itu terasa kembali. Dan entah kenapa, rasa sedih mulai terasa. Berikutnya pembagian hadiah tuk para sang juara. Hadiah seadanya dan sengaja bikin banyak. Karna hampir semua anak dapat. Berikutnya performansi dari masing-masing kelas: ada yang mbaca puisi (walau volumenya hanya terdengar oleh telinga sendir), nyanyi lagu bareng-bareng, yel-yel masing-masing kelas. Maen suling (baca:recorder), dan maen drama. Hahaha, lucu keren dan berani. Entah kenapa, rasa sedih itu muncul lagi. Ngga seharusnya muncul sekarang.

Penutupan dimulai: baca puisi “Cerita tentang Mimpiku” karya Mba Eva. Part satu: Ina yang beraksi. Part dua saya sendiri, part tiga: giliran Habib, dan penutup: RIdhi tuk menarik rangkuman acara tiga hari kami. Kami maju dengan membawa lilin yang menyala. Ina mematikan lilin, dan beraksi. Kata-kata puisi karangan Mba Eva berubah menjadi teriakan dan suara pengahayatan pembacanya. Hikmat. Solemn. Saya beraksi, tak lupa mematikan lilin yang saya pegang. Aksi kesurupan Adit versi SD dimulai. Mengubah barisan tinta kata-kata menjadi suara dan penghayatan gerak dan mimic wajah. Cacat. Banyak yang terlewat dan kaku. Argh., padahal ini momen yang sakral. Mengecewakan. Habib mengambil alih posisi. Lilin pun dia matikan. Mulailah suara lantangnya. Kepalan tangan yang meninju-ninju udara, teriakan semangat dan rintihan penuh harap . Bu Euis luluh, air mata mulai telihat dimatanya. Seluruh bagian puisi selesai diungkapkan. Spectacular. Ridhi menyalakan lilin kami kembali. Mengungkapkan kata-kata tanda maksud dan tujuan kami ke sini. Meneriaki para pecundang yang tak mau bermimpi. Menyemangati para pemberani dalam bermimpi. Khidmat. Sedih. Tangisan meledak. Anak-anak yang paling keras tangisannya. “Kami berbicara dari hati Bu, Pak..” satu kalimat yang saya dengar dari Ridhi. Suasana makin naik dalam kesedihan dan penuh harap. Kami tutup dengan lagu “Laskar Pelangi-Nidji”. Menyanyi bersama, berdendang bersama, menyemangati bersama, dan bedoa bersama. Luluh. Hati saya bergetar, entah kenapa. Mungkin efek sedih, senang dan haru yang bertemu secara bersamaan.

Akhir serangkaian acara kami ditutup dengan salam-salaman bersama. Argh., air mata saya tersendat kaku di ujung mata. Nyaris jatuh. Sedih sekali rasanya. “Barakallahu fik.., Semangat ya Adek..” hanya kalimat itu yang keluar tuk buah kenang-kenangan terakhir nagi mereka dari ku. Tak lupa serangkaian doa yang lain saya panjatkan bagi mereka dalam hati. (semoga Allah mengabulkannya. Amiin). Sampai pada saat terakhir, salaman dengan Bu Euis. Haru. Beginilah akhir acara kami. Rintikan hujan diluar ternyata menemani kami dalam proses penutupan. Barokah kah?? Wallahu a’lam…, dan semoga memang hujan itu tanda keberkahan dari Allah. Amiin y Rabb..

Amiiiiin…….

Kembali beres-beres, dan saya putuskan tuk pulang malam itu juga seblum maghrib. Kami ber-enam akan pulang sore itu. Ka Bowo, Mba Eva, Dias, Ali, Habib dan saya. Packing pun dimulai. Pamitan terakhir ke Bu Euis, Fajri, dan Kang Topik. Terima kasih ku untuk mereka. Melalui beberapa proses dan tahapan, kami ber-enam take off jam setengah enam lewat. Ali dan Dias mengambil rute motor. Kami berempat melewati jalan yang sama ketika kami beragkat kemari. Tapi kali ini dibantu dengan dua warga yang kebetulan akan pulang juga. Mereka dengan baik hati membawakan beberapa bawang bawaan kami (Mba Eva dan Habib tepatnya).

Ngga berapa lama kami jalan, adzan terdengar sayup-sayup. Kami berhenti tuk berbuka: hanya air minum saja. Kemudian lanjut lagi perjalan pulang. Suasana mulai gelap. Habib menyalakan senternya, mencoba tuk memberi bantuan ke mata kami agar bisa melihat jalan lebih jelas.  Berhasil. Kami sampai pada rumah warga yang menganrar kami. Berpamitan dan berterima kasih, kami lanjut lagi. Perjalanan baru setengahnya. Gelap pula. Satu hal yang kami ingin hindari adalah: kabut tebal. Alhamdulillah, kami hanya berpapasan dengan kabut yang tidak terlalu tebal saja, dan hanya sebentar saja. Perjalanan berikutnya berasa lebih agak berat. Tanjakan dalam kegelapan. Bahkan kami tidak bisa melihat wajah teman kami dengan jelas. Hal yang bisa mencirikan hanya suara dan postur tubuh saja. Kami berhenti tiap permintaan Mba Eva terlontarkan. Wajar, beliau cewe satu-satunya dalam rombongan pulang ini. Berbagi air, kurma dan makanan lain yang kami bawa. Akhirnya, sekitar 45 menit perjalan, sampai juga di rumah warga tempat kami menitipkan motor. Kami bertiga sholat maghrib, sementara Mba Eva bertugas tuk masuk dan bertemu pemilik rumah tersebut.

Selesai sholat, kembali ke rumah penitipan motor. Bincang-bincang sebentar, mengisi air minum. Dan kami pulang. Pamitan dan Berterima kasih. Sangat bersahabat sekali mereka. Ramah. Persiapan pulang selesai. Kami harus naik ke atas agar kembali ke jalan raya. Berhubung saya naik motor V-Xion, Ka Bowo turut serta tuk berbonceng agar motor Habib bisa lebih mantap dalam tanjakan yang (sangat) curam sekali ini.

Awalnya motor saya kuat dan mantap dalam tanjakan seperti ini. Sampai suatu saat, saya menggunakan gear (baca:gigi) dua tuk naik. Berhasil, tapi sampai di tikungan dan curaman mungkin lebih dari 600 V-Xion saya tiba-tiba mati mesin. Panik. Motor mulai melaju kea rah yang salah:mundur. Makin panik. Sontak rem langsung saya jalankan. Hanya rem tangan (depan) saja yang berhasil saya jalankan, kedua kaki saya tahan tuk menjaga keseimbangan motor. Ka Bowo nampaknya melakukan hal yang sama. Sampai ke suatu saat kecepatan dan keseimbangan motor tidak saling sinkron. GUBRAK. Motor terjatuh ke kiri. Kaki kiri saya tertindih V-Xion. Kepala sedikit membentur jalan aspal. Ngga bisa bergerak.

“Kalian lagi ngapain??” kata yang saya dengar dari Mba Eva. Parah. Tentu saja kami terjatuh. Pertanyaan yang aneh. Ngga peka. Hehehe. Berikutnya Ka Bowo mengangkat motor. Kaki kiri terbebas dari beban V-Xion. Warga datang membantu. Tapi entah kenapa kepala saya pusing. Susah bangun. Linglung. Dibantu bangun sama warga akhirnya. Dan saya diantar sampai naik ke atas: jalan besar oleh warga tersebut. Terima kasih Pak.,jasamu tidak akan saya lupakan. Sesampainya di atas, saya check keadaan tubuh. Luka di sikut kiri dan pergelangan kaki kanan. Perih. Payah sekali. Pamitan dan ucapan terima kasih tuk Bapa yang mengantar saya. Kami lanjut perjalanan. Ali dan dias sudah bergabung. Off we go.

Sepi, gelap dan berkabut perjalanan pulang kami. Rasa sakit di luka yang baru saya dapat mulai terasa. Terkena angin. Tapi tak berapa lama, rasa sakit itu terlupakan oleh suasana perjalanan yang harus mendapat konsentrasi lebih: dingin, waspada, lapar dan siaga. Tikungan-tikungan mulai menyambut, kabut mulai terlihat di samping kanan dan terakadang menghadang di depan. Kecepatan diatur sedemikian rupa agar tak tertinggal dan tetap bersama. Menit berikutnya saya hanya konsentrasi dalam lampu kuning yang menyala berkelip-kelip (baca:lampu sign) yang menandakan tikungan ke kanan atau kiri. Rasa sakit terlupakan. Lupa total.

Sampai ke pemberhentian pertama: Pom Bensin di Pengalengan. Isi bensin, isi perut sedikit dan air minum, sedikit berbincang-bincang. Kami lanjutkan perjalanan. Yang saya ingat adalah: saya mengejar motor di depan saya: Mba Eva agar tidak tertinggal. Menit-menit berikutnya, Motor dibelakang saya yang tertinggal: Habib dan Ka Bowo. Night Rider lebih tepat tuk sebutan kami. Ngebut di jalanan pegunungan. Tikungan-tikungan yang menyambut serasa tak berarti lagi buat saya. Tujuannya: mengejar dan menyusuk motor di depan agar bisa tetap bersama sampai daerah kampus.

Singkat cerita, hanya saya, Mba Eva dan Ali (dengan Dias) yang berhasil bersama sampai daerah kampus. Saya pamitan pertama karna memang rutenya melewati kost saya. “Mba., saya duluan ya.. Salam’alaikun..” Parkir motor di kostan, buka kamar, rasa sakit luka barusan terasa lagi. Jam 8.30p.m. Argh., Isya dan tarawih yang utama. Selesai tarawih., badan langsung minta disegerakan tuk istirahat. Setalah beres-beres dan masukkin motor ke dalam, tidur jam 9.30 p.m.

Kenangan Sukalaksana 2 ditutup dengan sebuah goresan luka yang sampai sekarang pun masih terasa perihnya. Menandakan kenangan kebahagiaan dan serunya petualangan saya dan teman-teman PUDING masih membekas rapi dalam memori dan hati.

SUKALAKSANA 2… KAU TERTAKLUKKAN…

Alhamdulillah……

Keesokannya, saya baru ingat: saya seharian ngga mandi. Hahaha. Memalukan. o_0???

Garut, Sukalaksana 02 Part Tiga


Saya lupa mimpi saya semalam. Hahaha. What do you expect from that dream?. Sahur sudah siap, kami sahur dengan wajah yang masih lelah dan ngantuk. Wajar. Pembahasan saat sahur hari itu: DINGIN. Ya, entah kenapa hari itu begitu dingin. Beda dengan hari sebelumnya. Bahkan Bu Euis pun meng-iyaikan dinginnya hari ini. Beliau mau mandi pakai air hangat saja. Selesai sahur, mayoritas dari kami tertidur (lagi) di tempat sekenanya. Saya di kursi. Nyari posisi yang nyaman dan zzzzzzzzzzzzz. Tidur ayam: ngga terlalu pulas tetap waspada lingkungan setempat. Sholat shubuh. Pas ngebuka pintu, brrrrrr.., ada angin. Lumayan kenceng dan dingin. Langsung aja saya tutup pintunya, ngga tahan saya dinginnya.

Kegiatan rutin seperti biasa: ngantre kamar mandi. Tapi saya ngga cukup waktu tuk mandi. Hanya cuci muka dan gosok gigi saja. Kemudian berangkat sekolah (berangkat ke sekolah maksudnya). Bantu persiapan upaca tujuh belasan. Dan saya buat soal tuk lomba cerdas cermat sementara yang anak-anak upacara tujuhbelasan dengan hikmat. Saya hanya ikut hormat ke sang saka merah putih hari itu. Aaaaahhh..,mengenang semangat 45 para founding fathers. Saya kebagian mbuat soal kelas tiga dan empat. Selesai membuat soal, saya mengurusi lomba menghias layangan tuk kelas tiga sampai kelas enam putri. Yang putra: main bola sepak. Sambil mbawa kamera, mulai dah kesurupan jadi fotografer. Jeprat-jepret, cari angle yang tepat dan objek yang tepat pula. Sementara kelas satu dan dua lomba balap kelereng dan masukin pensil ke lubang. Nostalgia sekali rasanya.

Cukup lama setelah lomba-lomba dimulai. Fajri menangis. Entahlah kenapa alasannya. Mungkin sedih karna kalah, atau malah kesakitan karna tulang keringnya beradu. Pelakunya meminta maaf. Gentle.  Lomba kembali dimulai. Kali ini lomba cerdas cermat tuk kelas tiga sampai kelas enam. Desain susunan meja dan kursi, siapin ‘bel’ masing-masing kelas dan dimulai.

Saya yang membuka dan membacakan soal awalnya. “Coba bunyiin belnya masing-masing..” ‘Sreksreksreksreksrek’ bunyi bel kelas tiga: hanya toples yang berisi pin hole. ‘Toktoktoktok’ bunyi bel kelas empat: bermodal penghapus whiteboard yang dipukul liar di meja. ‘Tingtingtingting’ bunyi bel kelas lima: piring dan sendok yang diadu tuk bersuara. ‘Dengdengdengndeng’ bunyi bel kelas enam: penghapus whiteboard yang dipukul sekenanya ke ember. Siiip bel siap.

Peraturannya sederhana: setiap peserta harus menjawab lima pertanyaan wajib. Babak Pertama. Kemudian Babak berikutnya adalah rebutan. Gunanya tersedia bell tentunya. Pertanyaan wajib pertama diberikan ke kelas tiga dulu. Saya yang baca. Pertanyaan pertama tentang IPS: Lingkungan buatan dan alami. Pelajaran bab pertama dalam kelas tiga semester satu. Mudah, relatif. Tapi ternyata mereka hanya diam saja: ngga ngerti. Saya coba ulang lagi pertanyaannya. Dan tetep mereka ngga ngerti jawabannya. “Masa susah sih pertanyaannya??” pikir saya dalam hati. Pertanyaan berikutnya pun sama saja, tidak ada jawaban (benar) sama sekali. Entahlah kenapa.

“Itu soal kelas berapa dit?” Ridhi menengahi. “soal kelas tiga semester satu. Bab pertama pula” balas saya. “oooh., mereka belum masuk sama sekali loh. Coba mulai dari kelas enam dulu dah biar agak aktif pesertanya. Trus pertanyaan buat kelas enam tuh pertanyaan yg kelas lima aja. Kelas lima dikasih pertanyaan yang kelas empat. Pokoknya turun satu kelas aja. Ntar yang keals tiga mbuat lagi soalnya”. “oalah.., masa sih?? Mereka belum masuk sama sekali?? OKlah kalo gitu.” Jawab saya dengan kebingungan sangat.

OK, pertanyaan wajib tuk kelas enam (dengan materi kelas lima). Matematika yang menyambut pertama kali: FPB (Faktor Persekutuan Besar). Pertanyaan pertama: salah. Singkat cerita, tiga soal yang mereka jawab benar. 30 poin untuk kelas enam.

Ketika lomba cerdas cermat akan dilanjutkan, adzan dzuhur terdengar. Lomba di pending sampai ba’da dzuhur. Peserta dan penonton dipersilahkan sholat. Sementara saya mbuat soal baru tuk kelas tiga: materi dari kelas dua. Sengaja saya menunda sholat terlebih dahulu, karna pasti di masjid pun akan penuh dan ngga kebagian tempat. (Semoga Allah mengampuni saya., amiin). Soal selesai. Peserta dan penonton pun berkumpul dan kembali ke ruang kelas tempat cerdas cermat lagi. Tepat waktu. Alhamdulillah.

Lomba kembali dimuali. Kali ini saya cuman sendiri tuk memulainya. Malu dan ngga mau sendiri, saya nyari teman tuk menemani dan membantu: Ina mau. Alhamdulillah (lagi). Sekarang tukar posisi, saya sebagi pencatat skor (merangkap sebagai juri juga) dan Ina bagian pembaca soal. Fix. Teman-teman yang lain sedang mempersiapkan lomba yang lain lagi setelahnya.

Pertanyaan wajib tuk kelas lima. Lagi, matematika yang menyambut mereka pertama kalinya. Kali ini giliran KPK (Kelipatan Persekutuan Kecil, bukan Komisi Pemberantasan Korupsi *walaupun sekarang sedang nyaring tentang kasus Korupsi Nazarudin #Loh??? Malah kemana ini bahasannya. hehehe). Dan (lagi) soal awal ini tak terjawab benar. AKhirnya Ina menjelaskan sedikit tentang KPK: pengertian, maksudnya, dan jawaban benarnya. Singkat cerita, kelas lima pun mendapat skor yang sama dengan kelas enam: 30 poin. Makin ketat.

Pertanyaan kelas empat dibacakan. Gaduh. Tentu saja pertanyaan yang sama dengan kelas tiga pertama kali yang membuat ruangan gaduh dan berisik. Setelah dijelaskan permasalahannya, kondisi tenang lagi. IPS yang menyambutnya: lingkungan buatan dan alami. Jawabannya: salah. Mungkin sudah lupa kali ya penjelasan yang saya kasih tadi sebelum dzuhur. Manusia: cepet lupa, lama inget. Singkat cerita: 20 poin yang bisa dihasilkan tuk kelas empat.

Pertanyaan baru tuk kelas tiga dibacakan. PKn kali ini yang menyambut mereka pertama kali: soal siapa kepala dalam suatu keluarga. Tentu saja mereka menjawab benar. Terlalu mudah. Singakt cerita (lagi) 30 poin tuk kelas dua.

Babak baru: pertanyaan rebutan. ‘sreksreksrek’, ‘toktoktoktok’, ‘tingtingting’,’dengdengdeng’. Bell siap dari masing-masing kelas. Pertanyaan pertama tentang Bahasa Indonesia: Penggunaan huruf kapital. Ngga ada yang bisa jawab benar. Why??? Entahlah. Ada hal yang paling lucu dari babak ini. Awalnya adalah pertanyaan yang kami (Mba Eva dan saya) buat sudah habis, padahal skor masih belum bisa bersua tentang pemenang. Ina mutar otak tuk membuat pertanyaan dadakan. And me either of course . Ina: ”sebutkan tiga makhluk hudup yang ada di lingkungan sawah”. ‘toktoktoktoktok’ bunyi pertama kali yang saya dengar. Kelas empat dapat kesempatan tuk menjawab. Diam cukup lama. Ina mengulangi pertanyaannya dengan lebih pelan agar mereka (lebih) mengerti. Tetap diam dan mikir. Penjelasan dikit dari Ina tentang pertanyaannya.”Ooohh.,” celetuk salah satu peserta. “Yah., ayo jawabannya pa??” Ina mancing jawaban. “Tiga makhluk hidup yang ada di sawah: bancet, kodok, ….” (saya lupa jawaban terakhir) hahahahaa dijawab dengan bahasa sunda. Logatnya pun tak lupa mengikuti. Sontak seluruh ruangan pecah tawanya. OK lah, walau saya ngga ngerti apa itu bancet, sepertinya dia lebih tahu makhluk yang ada di sawah ketimbang saya: jawaban saya benarkan: 10 poin bertambah tuk kelas empat.

Skor akhir babak rebutan: 7o tuk kelas enam dan 70 pula tuk kelas lima. Sisanya, 60 tuk kelas empat dan 50 tuk kelas tiga. Babak tambahan diadakan. Soal matematika lebih menjamin. Luas dan keliling serta FPB dan KPK jadi materinya. Dan akhirnya kelas lima pemenangnya. Horeeeeee…. Selamat selamat..

Sunday, August 21, 2011

Garut, Sukalaksana 02 Part Dua


Hari kedua dimulai. Penerapan hasil briefing semalam itu tuk sekarang. Yah., sekarang. Setelah upacara pembukaan, semangat mereka masih segar dan menyala, masa mau saya siram?? Bismillah.,insyaAllah nggak saya sia-siain semangat mereka. Doa saya dalam hati.


“yang kelas dua angkat tangan…” Tanya Ridhi. Segerombolan bocah unyu dan innocent angkat tangan. Banyak euy. Hampir dua kali lebih banyak dari kelas satu. Hmm.., baiklah. “Kalo bocah-bocah ini dijual dapet duit banyak nih.,hahaha” sempet terlintas pikiran buruk kayak gitu coba. #bercanda.

Saya bawa mereka ke belakang sekolah, terus ke depan lagi di lapangan voli. Masih ada netnya euy. (ngga penting). Krik krik krik.., 5 menit pertama saya bingung total mau ngapain nih di depan nih bocah. Suruh baris, ngacak ngga beraturan. Dan untungnya, mereka sudah mengerti sedikit tentang Bahasa Persatuan kita: Bahasa Indonesia. Alhamdulillah. Lebih baik lah yang penting dari kelas satu yang belum ngerti sama sekali Bahasa Indonesia. Belum tentu.

Hal pertama yang saya lakukan adalah menyuruh mereka membaca buku bacaan yang mereka bawa setelah acara pembukaan tadi. Crowded. Suara mengeja huruf terdengar kental sekali. ‘a-ek-ha akh, i-er- ir, en-ye-a nya : akhirnya, em-e me, er-e re, ek-a ka : mereka …..’ seperti itulah yang saya tangkap. Miris. Dulu kelas dua saya sudah cukup lancar membacanya. Tak perlu mengeja lagi. Itu kelas satu, bukan di kelas dua. Yah., beginilah keadaannya. Tak ada TK (Taman Kanak-kanak) disini. Mereka langsung mengenal huruf dan membaca (dan mungkin bahasa Indonesia) dari kelas satu. Wajar.

Setelah 10 menit saya mengawasi (saya ngga ngerti kudu ngapain lagi,hahaha. Pathetic) datang Habib membawakan perlengkapan yang bisa membantu: papan tulis mini, poster empat sehat lima sempurna, kertas A4, spidol dan penghapusnya. Kemudian saya request kertas origami ke Dias. Yes, dapet perlengkapan yang cukup. OK, waktu habis tuk membaca, waktunya tuk cerita ke depan apa yang udah mereka dapat. “ada yang mau maju nyeritain apa yang udah dibaca tadi?”. Diam dan meraka masih asyik dalam bukunya. Saya ulang lagi dengan bahasa yang lebih kekanak-kanakan. Satu anak maju. Melian namanya. (Unyu banget, cantik lagi.hehe). dia maju bawa buku, dan mulai membaca. Ya, bukan bercerita. Zzzzzz. Tak apa lah.,yang penting ada yang maju. Tentu saja dengan metode pengejaan dalam membacanya. Selesai.

Waktunya tuk saya mendongeng. Ambil buku sekenanya dari satu anak di depan saya yang paling deket. Cerita Nabi Muhammad saat beliau berangkat Hijrah ke Madinah. (pada tahu kan?) Iya, yang Ali menggantikan Beliau tidur di kamarnya, kemudian musuh-musuhnya dibuat tidur oleh Allah. Akhirnya Rasulullah berangkat dah sama Abu Bakar.Yang nanti mereka berdua sembunyi di suatu gua yang atas seijin Allah, musuhnya pun ngga bisa nemuin. Subhanallah..

Selesai, saya menjelaskan tentang empat sehat lima sempurna. Entahlah mereka ngerti banget atau nggak sama sekali. Tapi dilihat dari antusiasnya mungkin mereka ngerti. Mungkin. Karna sudah jam 10 lewat, agar ada kenang-kenangan dari pertemuan ini, saya ajarin mereka buat origami. Keputusan yang ternyata salah. Iya, karena mereka agak susah tuk mengikuti teknik-teknik melipat dan urutan-urutannya. My bad. Biar tetep ada kenang-kenangannya. Saya suruh mereka buat pesawat kertass aja lah. Lumayan, banyak yang bisa. Sisanya saya buatin.


Duduk terlalu lama, saatnya kita main (baca:bergerak). “Buat lingkaran besar ya adek….”. tentu aja mereka nggak ngerti. Bodoh banget dah saya ini. Saya ajarin dah mereka tuk membuat lingkaran. Game dimulai. Kita nyanyi sambil muter-muter. Asyik. Saya jadi ngerasa muda dan cilik lagi. Hahaha. Puas sudah nyanyi-nyanyi, waktunya tuk nonton film. Tentu aja film anak-anak: animasi. Film yang saya suka juga (ngga penting). Kelas satu sudah di kelas ternyata. Film siap dimulai, Ka Bowo menyerahkan film yang mau diputar ke saya. OK, ngasal, saya putar aja film ‘Ice Age’ tentang asal mula benua terbentuk. Film singkat yang lucu. Kemudian film ‘Bugs’ yang agak aneh dan keras sepertinya. Terakhir, film ‘light up’ tentang alien, permintaan Ka Bowo. Mereka ketawa-ketawa aja nontonnya. Emang lucu sih. Selesai nonton, mereka pulang. Setelah mereka berdoa dan cium tangan saya. Wah.,subhanallah.., 28 anak bergantian berebutan tangan dari seorang yang hina ini. Padahal saya biasanya yang cium tangan anak-anak. ‘barokallahu fik’ tiap kali mereka cium tangan saya. 28 kali. Semoga kelak mereka menjadi orang yang membangun tuk daerahnya ini. Amiin y Rabb…
Kegiatan berikutnya bagi saya adalah membantu temen-temen yang lain yang perlu dibantu. Tapi sepertinya nggak ada.hehehe. Setelah mengerjakan sesuatu yang bisa saya lakukan tuk membantu, saya tertidur. Satu jam saya tertidur di bangku kelas satu. Berikutnya, saya main ke kelas enam. Sholat dzuhur dan ashar. Dan menunggu tuk jalan-jalan ke air terjun yang ada disana. Diantar Kang Topik. Tentu saja setelah acara hari itu selesai.

Iosh., waktu tuk pergi ke air terjun datang. Kami siap-siap: no sepatu, karna pasti akan basah. Persiapan selesai. Let’s goooo.. Kami berdelapan pergi, bersama Kang Topik dan anaknya, serta Fajri. Jalannya cukup menantang. Turun, agak licin, dan indah nan asri pemandangannya. Subhanallah.. Tak lupa foto-foto diperjalanan. Air terjunnya bagus banget. Rumornya sih ada yang pernah meninggal gara-gara jatuh dari puncaknya. Cerita warga. Puas dengan foto-fotonya, kami pulang tuk mengejar waktu berbuka. Tapi tetap saja harus menunggu sekian menit tuk berbuka. Yah, suara adzan mulai terdengar pas kami di perjalanan dan tak ada yang membawa bekal. Menambah nikmat tersendiri pas berbuka puasa nanti. Hehehe
Buka puasa di rumah Ibu Euis, makan secukupnya sambil menunggu giliran ke kamar mandi: hanya tuk cuci muka dan ganti baju saja. Sholat maghrib, dan persiapan tarawih. Tarawih seperti biasa. Selesai salam-salaman, kami ngumpul dalam masjid dulu. Tradisi warga tiap nudzulul qur’an: makan nasi kuning. Wah., kami benar-benar disambut dengan baik sekali. Kami dikenalkan ke warga, diberi jamuan secara cuma-cuma dan mendapat perlakuan yang sangat baik dari mereka. Alhamdulillah..,


Terpaksa kami tidak bisa makan bersama dengan warga, alasannya: kami baru saja makan di rumah Bu Euis pas berbuka. Walhasil, kami hanya makan jajanan (wajik namanya) dan buah pisang saja. Nasi kuningnya kami bawa ke rumah, niatnya sih tuk sahur nanti. Acara tradisi selesai, kami pun pulang. Briefing tuk besok: acara 17 Agustus. Kami tidur setelahnya, jam 12 lewat. Menyiapkan kondisi tuk hari terakhir kami disana. Semoga akan lebih baik dan lebih seru lagi.

Semoga.
 
Copyright (c) 2010 Bermula dari Awal and Powered by Blogger.