Thursday, October 10, 2013

Day #3 Laut Biru


Menetap 4 tahun (atau lebih) di kota Bandung, membuat kulit kami terbiasa dengan hawa sejuk dan dingin. Membuat nilai ambang imajinasi di kepala tentang hawa di suatu daerah, tentu saja hawa Bandung sebagai batasnya. Hawanya terlalu dingin kah? Atau panaskah? Rangkaian pola pikir ini yang membuat Kota Denpasar menurut kami berada di bawah ambang batas hawa kesejukan. Denpasar panas.

Pagi itu saya terbangun, bukan karena apa, hanya karena bunyi alarm sendiri. Yang lain tak sudi menyalakan alarmnya. Atau mungkin lebih bijak dengan satu alarm untuk bersama, kita tamu Bung disini. Nggak lucu kalo seisi rumah kebangun cuma karena bunyi alarm yang bersaut-sautan dari lima orang tamunya sendiri. Kemudian bergegas menyapa Allah yang telah membangunkan tiap tidur saya selama hampir 22 tahun.

Rasanya saya bangun terlalu pagi, percis seperti setengah 5 di Bandung. Yang lain masih asik dengan kasurnya. Lelah perjalanan kemarin agaknya masih belum menguap sempurna dari badan kami. Tak tahan akan panasnya ruangan, selesai sholat saya lanjutkan tidur lagi, di atas sajadah, lengkap dengan sarung yang masih menempel. 5 more minutes please....

Entah jam berapa, saya terbangun setengah sadar. Pindah. Seperangkat alat sholat yang saya gunakan mau dipakai sama yang lain. Dan tempat saya seharusnya tidur, udah makin menyempit. Pfft. Mager. Antara ingin tetep terjaga dan ingin tidur, akhirnya saya duduk di pinggir kasur, membelakanginya, dan tertidur. Tapi itu tak berhasil lama. Badan ini otomatis langsung merebah ke belakang. Tidur dengan setengah badan di kasur, dan setengah yang lain di lantai.

.....

Belakangan kami tahu, hari itu ternyata adalah hari bersih-bersih dan hari dimana perkakas dan alat-alat dari besi disembahyangin. Termasuk motor dan mobil. Kompe cuma bilang nggak bisa nemenin kami berlibur hari itu. Minta cuti barang sehari jadi guide. Alasannya ada ibadah, siang sekitar jam 3 WITA. Jadilah hari itu kami mengatur rencana berlibur sendiri, dengan berbekal dua hari berpetualang menelusuri jalanan Bali, challenge accepted.

Pukul 10.22 WITA kami berangkat

Kami menggunakan motor pinjaman dari Kompe. Tujuannya? Di awal pra-berangkat, kami sepakat pergi ke monumen (atau museum) yang nggak terlalu jauh. Arah jalannya pun sudah diberi tahu Kompe. Jadilah outfit yang saya kenakan pun untuk indoor. Tapi nyatanya, ketika monumen sudah di depan, kami berhenti sejenak, berpikir cepat dan tancap gas. Nggak ada monumen (indoor) di trip kami kali ini. Nggak ada.

Kami keluar menuju jalan protokol, berharap ada rambu yang menunjukkan arah destinasi tempat wisata tertentu. Ada. Kuta dan Nusa Dua. Mencoba berdemokrasi: semua hampir menjawab 'terserah'. Aaaah, begini nih kalo penerapan demokrasi di kalangan tingkat anak muda. Hampir selalu jawabannya 'terserah', 'ngikut aja'. Boro-boro dapet solusi, 'abstain' selalu menang. Mungkin di kalangan anak muda ini lebih suka gaya orde lama: Demokrasi Terpimpin.

Sembari jalan, Nusa Dua akhirnya jadi solusi pilihan. Lagi pula, bukankah kemarin malam kita baru aja dari Kuta. Ngapain kesana lagi?

11.33 kami sampai di suatu pantai di kawasan Nusa Dua. Kami tak salah pilih. Pasirnya putih, ombaknya sedang, dan air lautnya...(ini bagian yang sangat krusial) biru. Biru crayon, biru seperti warna yang cuman ada di layar kaca, foto-foto desktop. Mematahkan persepsi wallpaper cuman rekayasa. Ini kaya lukisan laut yang hidup. Lengkap dengan perahu untuk snorkeling dan nggak terlalu ramai pula. Aaaah...mata ini berasa langsung bersih. Nggak perlu cuci mata kemana-mana lagi..

Salah satu pantai di kawasan Nusa Dua

Yang pertama di pikiran kami semua adalah: berenang di pantai ini. Tapi tak ada yang baju ganti, lebih parah lagi, saya justru pake baju khusus indoor. Pffft. Kami hanya bisa bermain di pinggiran pantai, mbasahin kaki oleh ombak dan masih cukup waras untuk ngendaliin diri supaya nggak maen ke garis pantai yang agak dalam, lalu berenang-renang riang. Aaaaah..,kau tahu, sangat menggoda sekali supaya kami berenang disana. Sempat terlintas pikiran: tak apa pulang dengan kondisi basah kuyup, toh nanti di jalan juga kering sendiri. Atau ngikut bule-bule yang hanya ber-pakaian dalam saja. Dan dan yang lain yang ada di pikiran aja. Bener-bener dah, nyesel banget salah outfit.

Angin laut yang semilir dan warna biru laut ini membuat kami terlena dan lupa saat itu siang sedang mencapai puncaknya. Panas nggak kekira seharusnya. Tapi untungnya, sunblock sudah terlumuri sebelum kami berangkat. Setidaknya nasib saya nantinya nggak seperti salah satu kawan kami nantinya.

Kami sudahi melihat birunya laut Nusa Dua. Bergegas pulang karena motor akan dipakai. Sebelum pulang, kami sempatkan mengunjungi rumah Tuhan kami di pusat kota minim Muslim ini. Makan siang di dekatnya, yang tentu dengan label Muslim, halal. Setelah itu, langsung menuju rumah Kompe.

Yudha, Yasir, Fariz, Adit, Lerry

Seperti yang saya bilang sebelumnya, hari itu adalah hari ibadah saudara-saudara Hindu kita. Dari penuturan Kompe, saya mafhum, hari itu seperti ritual hari bersih-bersih umat Hindu. Jadi, dengan tidak mengurangi rasa hormat dan toleransi, kami segera masuk ke kamar ruangan, dan tidur. Sementara di luar, keluarga Kompe bersih-bersih rumah. Hehe. Tamu kurang ajar sekali kami ini.. Apa boleh buat, we don't know what supposed to do..

Saat kami rasa diluar sudah selesai, barulah giliran kami melakukan ritual ibadah kami sendiri. Bukan (hanya) bersih-bersih yang kasat mata (fisik) dari kotoran-kotoran (hadats) kecil dengan berwudhu, tapi juga yang nggak bisa diliat (rohani) dengan sholat Ashar. Indah bukan, klo teoritis yang dijejali ketika kita sekolah tentang tenggang rasa dan toleransi di praktekan menjadi nyata.
Selebihnya kami hanya duduk dan ngobrol santai sambil ngabuburit. Ah, mulai lagi ini galau registrasi semester baru. Pfft.

Selesai sholat maghrib, kami msih santai-santai menunggu isya. Semua anggota keluarga Kompe akan beribadah nanti, rumah sepi. Meninggalkan 5 orang tamunya ini.

"Kalo mau cari makan, cepetan loh.. Di Bali tuh lebih cepet waktunya" Ayah Kompe ngingetin

Sadar, sekarang jam 8 WIB. Berarti jam 9 WITA. Bergegas kami keluar cari makan. Setelah berkeliling, kami putuskan makan nasi liwet Solo. Mungkin karena namanya yang secara tak langsung halal, warungnya juga kecil, model angkringan atau penjualnya orang Jawa. Kami putuskan makan disitu.

Selesai mengisi perut, kami pergi ke minimarket terdekat, beli makanan minuman kemasan. Dan Yudha beli kartu remi. Hah. Berasa waktu luang liburan ini terlalu sayang dibuang dengan ngobrol doang atau nge-bully seorang.

Alih-alih kita istirahat nabung energi buat besok yang katanya berangkat pagi-pagi. Malah kita maen kartu sampe jam 12 malem lebih. Hahaha. Ketawa dan seru kayanya lebih menarik ketimbang masuk ke dunia mimpi. Kalo urusan game yang bikin seru ber-punishment dan asyik, cowo biasanya suka lupa sama urusan jam yang nggak pernah mundur nan selalu maju. Tahu-tahu udah malam, baru nyadar, terus panik. Percis kaya peribasa yang Allah gambarin dalam firman-Nya buat orang-orang yang lalai.

Meet the looser game

Begitulah hari itu, breaktrough dari puncak kelelahan kemarin. Menurun. Tapi terbayar dengan birunya air pantai Nusa Dua. Tempat yang sekarang banyak disebut di media masa karena hampir semua Kepala Negara se Asia Pasifik berkumpul disana. Berdiskusi tentang ekonomi, perdagangan, sedikit pariwisata, dll. Entahlah, itu urusan orang-orang atas, dampaknya belum berasa di kalangan bawah. Yang kami tahu, TDL naik, Air juga naik dan daging sapi akan impor menjelang Idul Adha. Nggak perlu pesimis, kami hanya belum melihat sisi lain yang menguntungkan, itu saja. Well, saya sepertinya yang belum liat, entah kalo kamu.

Dan lihat serta dengarlah: penyesalan teman kami yang kini warna kulit lengannya belang karena lupa pakai sunblock. Siapa lagi kalau bukan Fariz.



 
Copyright (c) 2010 Bermula dari Awal and Powered by Blogger.