Monday, July 23, 2012

Kenapa harus sejarah

Sejarah

Bagi saya seorang engineer, kata ‘sejarah’ mungkin hampir tak ada dalam kamus saya. Tapi ada hal lain yang membuat saya tertarik lebih kepada topik itu. Saya (notabene seorang engineer) mengatakan ‘praktis’, tapi bagi mereka (sejarawan) mengatakan ‘detail’. Saya bicara ‘aplikatif’, mereka bicara ‘runut’.

Percabangan pola pikir ini pun sudah dimulai dari SMA dengan mengkodekan ilmu sosial dengan ilmu eksak. Dulu pernah saya benci mata kuliah ini. Jujur, saya waktu itu memilih pelajaran eksak, yang dalam benak saya pasti sudah tak ada lagi ilmu pelajaran sosial yang akan menjadi ‘beban’ di prosesi kemudian hari. Namun, tetap saja mata pelajaran sejarah masuk itungan dan tetap harus saya pelajari.

Dan baru kali ini saya sadar, bahwa saya bersyukur bahwa ide mata pelajaran sejarah masuk dalam ilmu eksak merupakan keputusan yang sangat brilliant. Yah, walaupun agak sedikit membosankan nantinya. Hehehe.

Memang, sejarah bukan eksak. Tapi bukankah setiap orang di dunia ini ingin mengabadikan momen-momen indah (atau tidak indah) dalam hidupnya? Bukankah mereka ingin ‘membuat’ sejarah juga? Semua peristiwa yang terjadi di masa lalu merupakan sejarah bagi pribadi yang merasakannya kan?

Sejarah tak melulu tentang perang, fosil atau cerita kerajaan. Lebih dari itu. Bahkan lebih lagi dari pada yang kita bayangkan. Pernah dengar cerita tentang seorang pengelana dan bangunan batu bata? *cerita ini saya dengar pertama kali di oleh Ketua LDK tahun 2010 lalu*

Suatu hari, ada seorang pengelana yang sedang melanjutkan perjalanannya. Ditengah perjalanan, Dia bertemu dengan orang pertama yang sedang mengerjakan sesuatu.

Pengelana: “Apa yang sedang kamu lakukan?”

Orang 1: “Saya sedang menyusun batu bata”

Setelah mengucapkan salam perpisahan, Sang pengelana tersebut melanjutkan lagi perjalanannya. Selang beberapa saat, dia bertemu orang kedua yang nampak mengerjakan sesuatu.

Pengelana: “Apa yang sedang kamu lakukan?”

Orang 2: “Saya sedang membangun rumah”

Setelah mengucapkan salam perpisahan, Sang pengelana tersebut melanjutkan lagi perjalanannya. Selang beberapa saat, dia bertemu orang ketiga yang nampak mengerjakan sesuatu.

Pengelana: “Apa yang sedang kamu lakukan?”

Orang 2: “Saya sedang membangun peradaban”

Setelah mengucapkan salam perpisahan, Sang pengelana tersebut melanjutkan lagi perjalanannya.

Dari ketiga orang yang ditemui Sang pengelana, mereka semua sedang membuat sebuah bangunan dari batu bata. Tapi ada satu bangunan dari ketiga itu yang nantinya akan berdiri kokoh dan kuat. Tebak bangunan milik siapa? ^^ bangunan milik orang ke-3. Karena dia memiliki visi dan tujuan lebih besar dan agung untuk membuat sejarah (membangun peradaban).

“Sejarah adalah alat untuk mencari kebenaran, pembenaran atau pembelajaran”

Melalui sejarah, kita mengetahui suatu kebenaran: Ya, jika kita telusuri lagi secara kronologis, kita hidup adalah suatu kebenaran. Kejayaan Sriwijaya adalah kebenaran. Kekalahan NAZI adalah kebenaran. Reformasi Indonesia adalah kebenaran. Dan masih banyak lagi kebenaran-kebenaran lain. Yang seharusnya kita sadari: bahwa itu semua sudah terjadi, dan langkah serta pertanyaan berikutnya yang muncul adalah: “Maukah kejadian (sejarah) itu terulang kembali?”

Pembenaran bahwa kita mungkin jatuh ke lubang yang sama, pembenaran bahwa mungkin kita terjebak dalam situasi yang sama lagi untuk ke-sekian kalinya. Atau itu memang pembenaran bahwa kita berjaya kembali seperti dulu kala. Sejarah kita yang akan menunjukkan pembenaran itu.

Pembelajaran yang akan sangat berkesan adalah ketika kita melibatkan emosi, serta kita ikut terlibat di dalamnya. Melalui sejarah (kita), kesalahan dan kejadian yang dulu pernah terulang akan memberikan efek yang besar terhadap pola pikir dan pergerakan kita nantinya ketika bertemu lagi dengan situasi yang sama. Belajar dari pengalaman merupakan ilmu dasar yang akan bertahan lebih lama dari sekedar kita mendengarkan sambil asyik sms-an.

“Gajah mati tinggal gading, harimau mati tinggal belang, manusia mati tinggal nama”

Pepatah lama yang pengaruhnya hampir ke semua orang di dunia. Kenapa orang mau bersusah payah melakukan percobaan sampai ribuan kali dan tetap semangat melakukannya lagi dan lagi: Karena dia ingin membuat sejarah. Seperti Thomas Alpha Edison. Kenapa orang mau mengeluarkan banyak uang (dan mungkin mengumbar janji) untuk menjadi nomor satu dan dapat kursi: Karena meraka ingin membuat sejarah juga. Kenapa orang mau berpanas-panasan dan berteriak-teriak bahkan menggadaikan nyawa hanya untuk menurunkan kepemimpinan seorang diktator: Karena mereka ingin membuat sejarah. Kenapa orang ingin mengangkat senjata dan mengalahkan lawan dengan cara yang brutal sekalipun hanya untuk mendapat kekuasaan akan wilayah: Karena mereka ingin membuat sejarah.

Mereka ingin nama meraka di kenang oleh semua orang di dunia. Bahkan ketika nyawa dan badan sudah berpisah. Taroh lah ‘Albert Einstein’. Siapa yang nggak kenal beliau? Walapun sudah lama meninggal, tapi hampir semua orang yang tak pernah sekali pun berjumpa dengannya, bertemu dengan sanak keluarga atau teman-temannya, atau bahkan tak benar-benar tahu siapa sebenarnya dia pun akan tahu bahwa dia yang menemukan ‘Teori relativitasnya’. Bisa dibayangkan berapa pahala *dalam hitungan Islam* jika karyanya berguna untuk masyarakat luas dan tetap terkenang sepanjang masa? sebuah aset yang tak ternilai harganya bukan?

Begitulah sejarah, sesuatu yang dulu saya benci, sekarang berubah menjadi sesuatu yang saya impikan. Karna sejarah, bukan sekedar perang dan fosil saja. Lebih dari itu. Sangat lebih….

#Saat Hari Anak Nasional

Tuesday, July 10, 2012

Phytagoras dan Angka

pythagorasBagi seorang matematikawan atau science maniak, atau semua orang (setidaknya dulu pernah belajar matematika) pasti nggak bakal lupa sama hukum phytagoras.

c2=a2+b2

Bahasa matematiknya. Sedangkan versi asli dari hukum phytagoras (versi bukan bahasa matematik)

“Jumlah luas bujur sangkar pada kaki sebuah segitiga siku-siku sama dengan luas bujur sangkar di hipotenus.”

(hipotenus adalah sisi yang berhadapan dengan sudut siku-siku).

Tenang.,saya nggak bakal bahas matematik disini, tanya aja sama orang yang lebih mengerti. Hehehe

Saat Phytagoras mendeklarasi hukumnya itu, tentu saja belum ada yang me-wara (peduli/mengindahkan). Baru beberapa tahun setelah itu, ada seseorang yang menerapkan perkataan phytagoras tersebut dan jadilah sebagai hukum Phytagoras yang kita kenal sekarang.

Menurut buku yang pernah saya baca, sebelum phytagoras menelorkan hukumnya tersebut, beliau pernah juga mengatakan sesuatu. Yah sebut saja hukum pra-hukum phytagoras. Yang nasibnya sama dengan hukum-hukum lain:masih terabaikan. Memang perkataan beliau ini tidak terlalu tersohor dan well known oleh kita. Tapi perkataannya betul-betul terjadi dan hukum itu yang menjadi dasar (dasar sekali) bagi para scientist dalam mengembangkan semua teknologi untuk kenyamanan dan kemudahan hidup kita.

“Dunia ini lebih mudah dimengerti dengan angka”

Itulah hukum pra-hukum Phytagoras. Simple, tapi maknanya mengakar jauh sampai ke dalam. Tarohlah perkembangan beberapa teknologi analog yang berkembang di dunia. Kemajuannya mungkin tak sebesar dengan perkembangan teknologi digital sekarang ini. Ingat bahwa digital hanya mengerti angka ‘0’ dan ‘1’.

Teknologi analog sebagai dasar, tapi kemudian untuk lebih mudah dimengerti, kita mengubahnya ke digital.

Mesin, dari yang analog (baca:manual) pakai cetakan atau bantuan manusia, sekarang sudah dikerjakan oleh robot (menggunakan procesoor).

Televisi,sudah lama negra-negara maju meninggalkan TV analog dan beralih ke TV digital.

Apalagi komputer, dari jaman masih make tabung dan ukurannya satu rumah, sampai sekarang berukuran segenggam tangan. Evolusinya dari tabung, transistor, IC sampai processor yang itu semua menuju ke digital.

Dan teknologi yang sangat berpengaruh di dunia sekarang ini pun: internet menggunakan prinsip yang sama. Menggunakan IP. Semua benda dikenali lewat deretan angka.

Telekomunikasi, dari generasi pertama (1G) sampai sekarang generasi ke 3,75G dan LTE, trendnya mengikuti internet: IP based. Dan lagi, semua berdasarkan angka.

Atau kalo kejauhan dan terlalu muluk, nggak usah jauh-jauh deh. Nilai laporan kita terhadap orang tua tentang amanah kuliah pun menggunakan angka: IPK. Contoh lain yang lebih global lagi, nilai IQ orang. Itu semua menggunakan angka untuk menilai.

Bahkan di jaman 'buka-bukaan' dan global ini, yang berkuasa adalah angka (baca:uang). Nggak ada yang nggak bisa dibeli olehnya. Semua orang mbutuhin, makanya nggak heran kalo sifat orang bisa berubah drastis karenanya.

Anyway, sudah nonton film Detective Conan The Movie yang soal pembunuhan nama-nama yang punya arti angka dari 1 sampe 13 (baca: dari As sampai King)? Atau film 23? Sekedar ngasih tahu, kalo para director atau si pembuat ceritanya pun ternyata menerapkan hukum yang sama: membuat dunia ini menjadi angka. :)

Ternyata ada hal menarik dari matematika yang mungkin tidak kita sukai.

Friday, July 06, 2012

Unis

Sabtu malam ketika saya baru saja pulang ke rumah dari Bandung menggunakan Dialga. Tepat sebelum maghrib baru sampai.

Malam itu rumah sepi, walhasil remot TV saya yang megang. Nggak ada acara yang menarik, akhirnya saya brenti di salah satu stasiun TV yang lagi nayangin kontes tarik suara. Kebetulan lagu yang dibawainnya enak: lagu sang Maestro Krisye (nggak tahu nulisnya gimana. Maaf ya..hehe). Lagu habis, seperti biasa: komentar sang Juri. Dari yang saya tangkap dari komentar-komentar Juri: mereka puas tapi bersyarat: Sang Penyanyi keseringan unis, kurang improvisasi. *Cara yang bagus untuk mengungkapkan ketidapuasan terhadap sesuatu*

"Unis itu kejadian saat duet dsb, dimana salah satu penyanyi nyamain nada dengan penyanyi lain."

Setelah jeda iklan, peserta yang lain tampil, duet virtual dengan alm. Sang Maestro juga. Lagu selesai. Komentar juri: “Spectacular.., dia nggak keseringan unis, ga berlebihan dalam improvisasi, ga berlebihan dalam nonjolin suaranya” kurang lebih gitu komentar jurinya.

Sama halnya di kehidupan kita. Ketika kita terlalu unis dengan keputusan-keputusan dan hal-hal yang sudah ada, sangat disayangkan sekali, itu tak terdengar bagus dimata para ‘ahli’. Tak ada improvisasi dalam berbagai hal pun juga sama. Kesannya hanya menyanyikan ulang aja
.
Sebaliknya, ketika improvisasi kita cukup, tetep njaga ego kita untuk tidak terlalu menonjol dibanding yang lain, justru malah hal-hal yang tadinya sudah sangat luar biasa makin ruaaaar biasaaaa lagi..

Sama dengan kebanyakan orang (baca: unis dengan mayoritas) belum tentu bagus.
Cari aman dengan ikut-ikutan pendapat orang pun belum tentu bakal aman dan bagus.
Terlalu menyerong dengan keadaan sekitar juga nggak bagus.
Pengen nampilin kemampuan kita sendiri biar keliatan lebih menonjol juga nggak baik.
Hasil nggak baik dan nggak bagus itu bukan cuman ngarah ke diri kita aja, tapi juga ngarah ke apa yang kita bawa: nama baik organisai misalnya.

Banyak hal yang perlu kita perhatikan ketika kita berhubungan dengan orang lain. Mau tak mau, hukum alam itu harus kita taati. Nggak ada tawaran lain. Tapi disitu lah seni keindahannya, semakin kita bisa akrab dengan hukum itu, kita bisa lebih nempatin diri kita sendiri sesuai dengan tempat dan kondisinya. Dan keahlian dan seni ini mahal sekali bung.. Jarang yang punya. Hehe

Semoga bermanfaat…

Keesokan harinya, nggak sengaja saya denger berita kalo peserta yang Sabtu malam keseringan unis itu tereliminasi.
 
Copyright (c) 2010 Bermula dari Awal and Powered by Blogger.