Thursday, October 10, 2013

Day #3 Laut Biru


Menetap 4 tahun (atau lebih) di kota Bandung, membuat kulit kami terbiasa dengan hawa sejuk dan dingin. Membuat nilai ambang imajinasi di kepala tentang hawa di suatu daerah, tentu saja hawa Bandung sebagai batasnya. Hawanya terlalu dingin kah? Atau panaskah? Rangkaian pola pikir ini yang membuat Kota Denpasar menurut kami berada di bawah ambang batas hawa kesejukan. Denpasar panas.

Pagi itu saya terbangun, bukan karena apa, hanya karena bunyi alarm sendiri. Yang lain tak sudi menyalakan alarmnya. Atau mungkin lebih bijak dengan satu alarm untuk bersama, kita tamu Bung disini. Nggak lucu kalo seisi rumah kebangun cuma karena bunyi alarm yang bersaut-sautan dari lima orang tamunya sendiri. Kemudian bergegas menyapa Allah yang telah membangunkan tiap tidur saya selama hampir 22 tahun.

Rasanya saya bangun terlalu pagi, percis seperti setengah 5 di Bandung. Yang lain masih asik dengan kasurnya. Lelah perjalanan kemarin agaknya masih belum menguap sempurna dari badan kami. Tak tahan akan panasnya ruangan, selesai sholat saya lanjutkan tidur lagi, di atas sajadah, lengkap dengan sarung yang masih menempel. 5 more minutes please....

Entah jam berapa, saya terbangun setengah sadar. Pindah. Seperangkat alat sholat yang saya gunakan mau dipakai sama yang lain. Dan tempat saya seharusnya tidur, udah makin menyempit. Pfft. Mager. Antara ingin tetep terjaga dan ingin tidur, akhirnya saya duduk di pinggir kasur, membelakanginya, dan tertidur. Tapi itu tak berhasil lama. Badan ini otomatis langsung merebah ke belakang. Tidur dengan setengah badan di kasur, dan setengah yang lain di lantai.

.....

Belakangan kami tahu, hari itu ternyata adalah hari bersih-bersih dan hari dimana perkakas dan alat-alat dari besi disembahyangin. Termasuk motor dan mobil. Kompe cuma bilang nggak bisa nemenin kami berlibur hari itu. Minta cuti barang sehari jadi guide. Alasannya ada ibadah, siang sekitar jam 3 WITA. Jadilah hari itu kami mengatur rencana berlibur sendiri, dengan berbekal dua hari berpetualang menelusuri jalanan Bali, challenge accepted.

Pukul 10.22 WITA kami berangkat

Kami menggunakan motor pinjaman dari Kompe. Tujuannya? Di awal pra-berangkat, kami sepakat pergi ke monumen (atau museum) yang nggak terlalu jauh. Arah jalannya pun sudah diberi tahu Kompe. Jadilah outfit yang saya kenakan pun untuk indoor. Tapi nyatanya, ketika monumen sudah di depan, kami berhenti sejenak, berpikir cepat dan tancap gas. Nggak ada monumen (indoor) di trip kami kali ini. Nggak ada.

Kami keluar menuju jalan protokol, berharap ada rambu yang menunjukkan arah destinasi tempat wisata tertentu. Ada. Kuta dan Nusa Dua. Mencoba berdemokrasi: semua hampir menjawab 'terserah'. Aaaah, begini nih kalo penerapan demokrasi di kalangan tingkat anak muda. Hampir selalu jawabannya 'terserah', 'ngikut aja'. Boro-boro dapet solusi, 'abstain' selalu menang. Mungkin di kalangan anak muda ini lebih suka gaya orde lama: Demokrasi Terpimpin.

Sembari jalan, Nusa Dua akhirnya jadi solusi pilihan. Lagi pula, bukankah kemarin malam kita baru aja dari Kuta. Ngapain kesana lagi?

11.33 kami sampai di suatu pantai di kawasan Nusa Dua. Kami tak salah pilih. Pasirnya putih, ombaknya sedang, dan air lautnya...(ini bagian yang sangat krusial) biru. Biru crayon, biru seperti warna yang cuman ada di layar kaca, foto-foto desktop. Mematahkan persepsi wallpaper cuman rekayasa. Ini kaya lukisan laut yang hidup. Lengkap dengan perahu untuk snorkeling dan nggak terlalu ramai pula. Aaaah...mata ini berasa langsung bersih. Nggak perlu cuci mata kemana-mana lagi..

Salah satu pantai di kawasan Nusa Dua

Yang pertama di pikiran kami semua adalah: berenang di pantai ini. Tapi tak ada yang baju ganti, lebih parah lagi, saya justru pake baju khusus indoor. Pffft. Kami hanya bisa bermain di pinggiran pantai, mbasahin kaki oleh ombak dan masih cukup waras untuk ngendaliin diri supaya nggak maen ke garis pantai yang agak dalam, lalu berenang-renang riang. Aaaaah..,kau tahu, sangat menggoda sekali supaya kami berenang disana. Sempat terlintas pikiran: tak apa pulang dengan kondisi basah kuyup, toh nanti di jalan juga kering sendiri. Atau ngikut bule-bule yang hanya ber-pakaian dalam saja. Dan dan yang lain yang ada di pikiran aja. Bener-bener dah, nyesel banget salah outfit.

Angin laut yang semilir dan warna biru laut ini membuat kami terlena dan lupa saat itu siang sedang mencapai puncaknya. Panas nggak kekira seharusnya. Tapi untungnya, sunblock sudah terlumuri sebelum kami berangkat. Setidaknya nasib saya nantinya nggak seperti salah satu kawan kami nantinya.

Kami sudahi melihat birunya laut Nusa Dua. Bergegas pulang karena motor akan dipakai. Sebelum pulang, kami sempatkan mengunjungi rumah Tuhan kami di pusat kota minim Muslim ini. Makan siang di dekatnya, yang tentu dengan label Muslim, halal. Setelah itu, langsung menuju rumah Kompe.

Yudha, Yasir, Fariz, Adit, Lerry

Seperti yang saya bilang sebelumnya, hari itu adalah hari ibadah saudara-saudara Hindu kita. Dari penuturan Kompe, saya mafhum, hari itu seperti ritual hari bersih-bersih umat Hindu. Jadi, dengan tidak mengurangi rasa hormat dan toleransi, kami segera masuk ke kamar ruangan, dan tidur. Sementara di luar, keluarga Kompe bersih-bersih rumah. Hehe. Tamu kurang ajar sekali kami ini.. Apa boleh buat, we don't know what supposed to do..

Saat kami rasa diluar sudah selesai, barulah giliran kami melakukan ritual ibadah kami sendiri. Bukan (hanya) bersih-bersih yang kasat mata (fisik) dari kotoran-kotoran (hadats) kecil dengan berwudhu, tapi juga yang nggak bisa diliat (rohani) dengan sholat Ashar. Indah bukan, klo teoritis yang dijejali ketika kita sekolah tentang tenggang rasa dan toleransi di praktekan menjadi nyata.
Selebihnya kami hanya duduk dan ngobrol santai sambil ngabuburit. Ah, mulai lagi ini galau registrasi semester baru. Pfft.

Selesai sholat maghrib, kami msih santai-santai menunggu isya. Semua anggota keluarga Kompe akan beribadah nanti, rumah sepi. Meninggalkan 5 orang tamunya ini.

"Kalo mau cari makan, cepetan loh.. Di Bali tuh lebih cepet waktunya" Ayah Kompe ngingetin

Sadar, sekarang jam 8 WIB. Berarti jam 9 WITA. Bergegas kami keluar cari makan. Setelah berkeliling, kami putuskan makan nasi liwet Solo. Mungkin karena namanya yang secara tak langsung halal, warungnya juga kecil, model angkringan atau penjualnya orang Jawa. Kami putuskan makan disitu.

Selesai mengisi perut, kami pergi ke minimarket terdekat, beli makanan minuman kemasan. Dan Yudha beli kartu remi. Hah. Berasa waktu luang liburan ini terlalu sayang dibuang dengan ngobrol doang atau nge-bully seorang.

Alih-alih kita istirahat nabung energi buat besok yang katanya berangkat pagi-pagi. Malah kita maen kartu sampe jam 12 malem lebih. Hahaha. Ketawa dan seru kayanya lebih menarik ketimbang masuk ke dunia mimpi. Kalo urusan game yang bikin seru ber-punishment dan asyik, cowo biasanya suka lupa sama urusan jam yang nggak pernah mundur nan selalu maju. Tahu-tahu udah malam, baru nyadar, terus panik. Percis kaya peribasa yang Allah gambarin dalam firman-Nya buat orang-orang yang lalai.

Meet the looser game

Begitulah hari itu, breaktrough dari puncak kelelahan kemarin. Menurun. Tapi terbayar dengan birunya air pantai Nusa Dua. Tempat yang sekarang banyak disebut di media masa karena hampir semua Kepala Negara se Asia Pasifik berkumpul disana. Berdiskusi tentang ekonomi, perdagangan, sedikit pariwisata, dll. Entahlah, itu urusan orang-orang atas, dampaknya belum berasa di kalangan bawah. Yang kami tahu, TDL naik, Air juga naik dan daging sapi akan impor menjelang Idul Adha. Nggak perlu pesimis, kami hanya belum melihat sisi lain yang menguntungkan, itu saja. Well, saya sepertinya yang belum liat, entah kalo kamu.

Dan lihat serta dengarlah: penyesalan teman kami yang kini warna kulit lengannya belang karena lupa pakai sunblock. Siapa lagi kalau bukan Fariz.



Sunday, September 29, 2013

Day #2 Tiga Destinasi


*Bunyi alarm*
Jam 5.15a WITA saya terbangun, masih pagi sekali saat itu. Tak ada semburan merah-orange khas fajar. Semuanya masih gelap. Ambil wudhu, saya sempatkan sholat dua rakaat. Tak lama kemudian, adzan shubuh berkumandang. Sayup-sayup. Jangan bayangkan seperti suara yang biasanya kita dengar di rumah: saling bersaut-sautan antar masjid satu dengan yang lain dan menggema karena gedung-gedung tinggi. Disini, bisa mendengarnya saja sudah beruntung. Kau tahu, itu adalah suara adzan pertama yang kami dengar di pulau ini. Bali.

Segera kami bergegas akan beraktifitas pagi itu: bersepeda. Hey, guest star kita sudah datang pagi-pagi sekali: Pepe dan Astawa sembari menunggu 'dandan' kami dengan menyantap kudapan Bali bersama teh hangat. Menit berikutnya, kami memilih sepeda. Mine? Sepeda lipat kecil yang nanti akan saya ceritakan betapa ....... memilih sepeda jenis ini.

Pukul 5.49 WITA mulai mengayuh sepeda

Sebagai tuan rumah dan tuan pulau, Kompe tentu berada di depan rally sepeda ini: pemandu jalan. Bahkan tujuannya saja kami tak tahu. Dibawa ke sarang buaya pun kami ikuti (yang ini nyata loh ya, bukan melebihkan). Hahaha

Suasana Jum'at pagi waktu itu sepi, hanya ramai pasar saja. Sisa-sisa malam sepertinya masih awet jam segini. Barulah ketika mata sudah bisa membedakan benang merah dan orange dengan benar, orang-orang mulai bermunculan. Beranjak dari tempat tidurnya. Mencari sarapan, jalan santai, atau bergegas pergi sekolah.

Akhirnya kami sampai di Pantai Mertasari. Menikmati sunrise sesaat yang mulai meninggi. Dari situ, kami lanjutkan mengayuh, menyusuri pesisir pantai tenggara pulau Bali. Pemandangannya sederhana, sebelah kiri kawasan perhotelan elite, sebelah kanan adalah pasir putih lengkap dengan riak air laut.

Ternyata, pantai-pantai ini saling terhubung. Garis pantainya sama. Kami sampai di Pantai Sanur, pantai yang tak lebih dari 1x24 kemarin jam kami kunjungi. Istirahat barang meluruskan kaki sambil sarapan pagi. Makan di tepi bantalan pantai. Sambil mengamati air laut yang mulai pasang seperti mengisi bak air mandi: lama kelamaan makin tinggi tertutup air. Pemandangan ini makin lengkap dengan pemandangan dua orang yang sedang galau registrasi. Pffft. A’int no time for that. Hahaha.

Sunrise di Pantai Mertasari

Sarapan di bantalan Pantai Sanur
Hari ini awal registrasi kuliah, sedari kemarin dua orang ini (Yudha dan Lerry) berniat bangun pagi-pagi sekali untuk berebut mata kuliah dengan ratusan orang diluar sana. Tapi nyatanya, akumulasi capek perjalanan dan jet-lag membuat mereka susah terjaga dari mimpi indahnya. Dan galau ini akan terus berlanjut sampai akhir perjalanan. Mengisi topik pembicaraan ringan kami, yang tentu harus melewati olokan dan cercaan terlebih dulu.

Puas mengisi energi, kami lanjutkan perjalanan kami bersepeda menyusuri pantai. Hey, di daerah yang jauh dari Dayeuh Kolot pun, saya masih saja nemu anak IT Telkom di liburan ini: berpapasan naik sepeda. What the hell. Stunned. Beliau sahabat saya sekaligus koordinator satu sub-divisi di organisasi pertama yang satu ikuti selama di kampus. Butuh waktu sekian detik untuk mengembalikan kesadaran saya lagi. Aaah, lelucon ini lagi.

Lanjut mengayuh, kami dibawa ke suatu tempat yang dulunya taman hiburan mirip Dufan di Jakarta atau BCL di Bandung tapi persis di pinggir pantai. Ingat kata intinya: ‘dulunya’, berarti sekarang hanya puing-puing bangunan dan semak belukar yang lebih mirip Candi Prambanan pas pertama kali ditemukan. Mungkin. Nggak keurus, daun-daun berserakan, berlumut. Dan dulu ada buaya yang lepas dan belum ditemuin sampe sekarang. (Kan, kami dibawa ke sarang buaya beneran). Warga sini sih bilang ini tempat yang angker banget. Makanya ketika di dalam taman ini ada pura, Kompe, Astawa dan Pepe sembahyang disana. Atau mungkin berdoa meminta tolak bala dari bersepedaan seliweran di taman ini. Segera kami lewati suatu gapura yang mungkin dulunya adalah gerbang keluar masuk menuju taman hiburan ini. We’re heading home.

Bersepeda di bekas taman hiburan
OK, medan sepeda kali ini bukan jalanan setapak di pinggir pantai. Tapi jalan raya. Dengan sepeda lipat kecil ini plus diameter ban yang kecil, dan jangan lupakan postur tubuh saya yang tinggi, tingkat ke-cape-an makin meningkat. Bayangin aja, untuk sekali kayuh dengan sepeda ini, jarak yang di tempuh nggak sejauh yang dicapai dengan sepeda ukuran normal yang mempunyai diameter ban lebih besar. Walhasil, saya selalu tertinggal di belakang. Mensejajarkan mereka yang mengayuh santai, setara dengan mengayuh sepeda ini dengan lebih dari sekedar santai agar tak tertinggal. Menyedihkan. Tapi justru itu jadi cerita berkesan tersendiri bukan?. J
Pukul 11.00 WITA, kami sampai di rumah Kompe. Mengakhiri rally sepeda hari itu selama 5 jam 11 menit.


Pukul 12.30 WITA Sholat Jum'at

Pantang bagi saya memakai pakaian yang biasa: baju kaos dan celana jeans. No way. Ini hari Jum'at. Saya siapkan baju terbaik yang saya bawa dengan celana no jeans. Saudara-saudara kita penghuni asli pulau ini saja bangga dan selalu memakai pakaian istimewanya ketika melakukan ibadah. Cantik-cantik, ganteng-ganteng. Saya sebagai tamu, sebagai Muslim, tak mau tertinggal: mengenakan baju Muslim terbaik yang saya bawa. Harus makin ganteng. Mungkin sedikit berlebihan atau lebay, tapi itu beneran terjadi. Ego minoritas saya berhasil keluar. Kami berlima berangkat menunaikan kewajiban Muslim kami. Masjidnya cukup jauh, jadi kami gunakan sepeda motor. Dan lihatlah, melihat dan bertemu saudara semuslim bergegas menuju masjid lengkap dengan atribut ibadahnya itu pemandangan yang luar biasa sekali. Sangat.

Jauh-jauh ke pulau Bali, ternyata sholat Jum'at di Masjid An-Nur juga (masjid An-Nur adalah masjid samping kosan saya di Bandung. Yang berarti, hampir tiap sholat Jum'at dan fardhu selama di Bandung, saya jadi jama'ah setianya). Itu adalah sholat Jum’at perdana seumur hidup saya di pulau yang minoritas Muslim. Dan semoga bisa saya rasakan lagi. Semoga.

Agaknya letih sehabis bersepeda nggak cukup dipulihkan dengan istirahat satu jam dan tidur ayam saat khotbah tadi. Nyatanya, kami memilih menambah porsi tidur siang dari jadwal yang sudah disepakati bersama untuk move on ke perjalanan selanjutnya. Dan tentu, ada resiko yang harus ditanggung akan hal itu. Kami baru berangkat jam 4.02p WITA menuju destination berikutnya.

Pukul 6.13p WITA kami sampai di Karma Kandara. Pantai yang letaknya di selatan pulau Bali. Percis menghadap ke Laut Selatan. Untuk menuju pasir putihnya, kami harus menuruni tebing terlebih dahulu. Menuruni tangga. Kalau boleh saya bandingkan, Karma Kandara adalah Cliff of Moher-nya Indonesia. Hehehe. Sayangnya, resiko berangkat lebih sore baru kami rasakan sekarang: kami nggak bisa berenang di pantai karena matahari di ujung sana sudah mengantuk, pergi menuju tempat peristirahatannya. Suasana pantai makin gelap. Nggak baik memaksakan berenang malam-malam. Kami putuskan segera naik. Ah ya..naik kawan! Belum pulih benar capek bersepada tadi pagi (dengan sepeda kecil), sekarang harus naik bukit di sore harinya. Sepertinya ini ganjaran duduk selama 13 jam di kereta Sri Tanjung.

Pantai Karma Kandara
Kami lanjutkan perjalanan, mampir di warung makan Muslim untuk mengisi energi, mampir sebentar untuk berfoto di patung Gatot Kaca (entah apa nama sebenernya). Setelah itu kami menuju Pantai Kuta. Pantai yang 10 tahun lalu menggemparkan Indonesia, menjadi headline berita-berita nasional hanya karena tiga huruf: BOM. 9.35p WITA kami parkir motor kami di pinggiran pantai. Apa yang akan dinikmati dari suasana pantai ketika malam begini? Entahlah...deburan ombak, semilir angin darat dan pasir putih mungkin cukup. Akhirnya, kami bereksperimen membuat projek Light Painting. Bagi pemula, hasilnya tak sebegitu buruk. Hehehe. Selesai projek, kami bergegas pulang pukul 10.57p WITA. Tak lupa kami sempatkan melongok sebentar monumen Bom Bali. Kawasan sekitarnya memang ‘pantas’ mendapatkan ‘sepercik api’ menurut aliran ekstrimis kanan. Musik bervolume keras, lampu disko, joget-joget, dan tentu bir. Kawasan diskotik elite terbuka sepanjang jalan. What do you expect? Budaya barat malam hari ditempatkan di kawasan budaya timur seperti ini. Tabu.

Mampir di patung Gatot Kaca
Light painting di Pantai Kuta

Barulah kami sampai di rumah kompe pukul 11.44 WITA. Menutup perjalanan tiga destinasi sekaligus dalam sehari. Menjadikan Jum’at hari terpadat dan ter-capek di list perjalanan ini. Kami bebenah, bersiap tidur.

Hey.., kami belum menyapa dan bertemu Tuhan kami. Sholat Maghrib jama’ Isya. 

Monday, September 23, 2013

Malu

"Sudah saatnya saya tarik kaki kamu supaya balik ke tanah"

Saat itu hari pertama pekan pendaftaran sidang shift 2, Senin, 3 Juni 2013. Berbekal percaya diri, kesiapan serta ijin dari Pembimbing kedua, saya pun meminta persetujuan ke Pembimbing wahid untuk mendaftar sidang periode itu.

Seperti biasa, saya siapkan materi diskusi yang harus (baca: sangat sekali disarankan) berbentuk grafik atau data yang udah jadi, tinggal baca dan analisis. Kenapa? Karena kalo nggak, niscaya materinya nggak dibaca (dengan sepenuh hati) sama Beliau hehehe. Janjian dengan Bapanya. SMS cukup. Nggak berani telpon, takut ngeganggu waktu beliau untuk ngurusin kampus.

Dapat balasan, approval  jam 4 sore di ruangan beliau. LC lantai 5.

Saya sengajakan datang lebih awal, 5 menit sebelum kesepakatan sudah menunggu (baca: antre) bertemu Beliau. Yah, antre, karena ada Ka Edu yang bernasib sama: jam 4 sore ketemu Beliau di ruangannya. Bercakap-cakaplah kita sambil membunuh waktu karena Beliau ternyata belum sampe ke ruangan, telat bilangnya. OK lah.,maklumkan saja.

Setengah jam berlalu.
Dateng pula rombongan 'pasien' yang lain. Ka Rezade dan Ridwan. Bernasib sama: janjian ketemu, tapi jam 4.30. Yasudah, malah cerita kemana-mana jadinya gara-gara dua orang ini dateng hahaha, pun untuk membunuh waktu.

Jam 5 lewat sekian menit.
Bapanya dateng juga. Terlihat dari dalam lift, kedua telapak tangannya disatukan dan diletakkan di depan dada. Bibirnya bergerak. Saya yakin beliau bilang "Sorry ya telat.." pun ketika keluar dan menyapa kita. Salaman, diajak masuk ke ruangannya.

Diskusi dimulai
Dimulai dari Ka Edu tentang materi (lebih ke arah curhat sepertinya, gimana 'Bapa' dengan anak).
Ketika mulai giliran saya, grafik diambil, dilihat sama Bapanya sebentar, dibaca. Dan mulailah diskusinya. Pertanyaan yang sama yang ditanyakan oleh Pembimbing kedua tempo hari, pun saya jawab dengan jawaban yang sama. De javu. Tapi...
Beliau terus bertanya 'iya KENAPA?' dan 'KENAPA kok bisa gitu?' dan KENAPA yang lain...
Abis kata.
Kemudian hal yang paling tolol dan memalukan keluar dari mulut saya:

"Saya kan sebenernya orang sinyal, jadi yang bagian ini sejujurnya saya masih agak lemah Pa"

Berharap itu tameng dan pembenaran alasan terakhir materi diskusi saya hari itu terselamatkan. Tapi ternyata

"Loh.,saya nggak mau meng-iya-kan pernyataan kamu itu. Ini bukan masalah kamu orang sinyal, siskom ato jaringan dsb, ini masalah dasar kok. Fisika malahan"
balas Bapanya dengan wajah khas yang serius tapi tetep ramah dan suka senyum-senyum.

"kamu itu belum wise berarti Dit, masih dalam tingkatan knowledge"

"jadi di alam semesta ini ada berbagai macam data, dari berbagai macam data itu kita ambil beberapa aja yang penting dan berguna, jadilah informasi" Terang Bapanya.

"kemudian dari informasi-informasi tertentu, digabungkan jadi knowledge, ilmu"

"nah.,dari ilmu-ilmu ini, maka akan timbul wise (bijak)"

"Pada tingkatan knowledge orang mungkin bisa fanatik. Dia hanya melihat dari satu knowledge tertentu. Wise itu tingkatan paling tinggi, ngeliat dari berbagai disiplin ilmu"

Menit berikutnya saya dapat cerita pengalaman hidup beliau tentang aliran fanatik dalam agama. Waaah.,dapat pelajaran hidup berharga lah..alhamdulillah... *materi bimbingan terabaikan*

Saya tahu, beliau sebenernya ingin ngomong saya salah. Hasil TA saya menyimpang. Mungkin parah. Tapi tetep diterima, karena sebenernya nggak ada yang salah kalo alasannya benar.

Selesai pelajaran hidupnya. Back to topic.
Pas lagi ngerenung nerima ucapan Bapanya yang ngebuka hati. Tiba-tiba

“Kamu mau sidang kapan Dit?”

Kaget Bapanya nanya itu.

“Yang periode sekarang Pa, Jum’at terakhir pendaftarannya..”

“Ooh, udah bikin kan ya slidenya? Di email ya?”

“Nggih Pa..”

Menit berikutnya beliau ngoreksi slide: ngoreksi Bahasa Inggris tepatnya. Hehe.
Dan...

“Ya sudah kamu kerjain aja dulu..saya mau lihat hasilnya...” Sambil Bapnya senyum keliatan giginya...

Menit berikutnya saya malu. Malu udah ngomong saya lemah terhadap sesuatu karna background tertentu. Malu karna saya udah fanatik. Malu karna saya coba memberi alasan yang salah. Malu karna saya udah ngebatasin kemampuan saya sendiri. Dan malu, karena 21 tahun lebih hidup, nggak  ngerasa kalo terlalu banyak sifat fanatik, yang merasa bangga akan ilmu dan possession tertentu padahal masih di tingkatan knowledge. Astaghfirullah....

Hari itu saya cukupkan dengan bilang terima kasih sebanyak-banyaknya ke Bapanya. Cium tangan. Membawa pulang rasa malu, membawa pulang tugas baru untuk dikerjakan. Mengejar agar tak lewat batas waktu pendaftaran sidang pekan itu. Empat hari lagi.

Sunday, September 15, 2013

Day #1 Kedatangan

"ini daging apaan?" tanya dia pada kami
"daging sapi mas itu" jawab mas-mas si penjual menimpali. Kami sendiri malahan enggan ngejawab.

Rabu, 21 Agustus 2013
Kami sampai di Stasiun terakhir: Banyuwangi Baru. Malam hari pukul 9 waktu itu. Kami sempatkan makan malam di warung depan stasiun. Hanya menu rawon yang tersisa ternyata. Apa boleh buat, pilihan menu yang makin banyak malah bikin perut tertunda lagi dijejali makanan. Tak lama, 5 porsi rawon datang, siap kami santap. Dan percakapan itu, menyadarkan saya. Kami sejengkal lebih dekat dengan Bali. Tempat para muslim lebih selektif dalam memasukkan makanan ke kerongkongan mereka.

Di depan Pelabuhan Ketapang

Pelabuhan Ketapang dan Stasiun Banyuwangi Baru hanya berjarak tak lebih dari setengah mil. 10 menit jalan kaki sampai. Setelah membeli tiket, segera kami naik kapal. Pukul 10.30 kapal mulai bergerak. Meninggalkan Jawa, menuju Bali. Tak banyak yang bisa dilakukan di atas kapal, hawa dingin angin darat duet dengan angin malam memaksa penumpang agar lebih baik untuk segera tidur. Tak perlu pusingkan perjalanan, tak ada pemandangan yang dapat dilihat pula di tengah selat yang gelap ini.

Menuju Kapal Fery

Satu jam perjalanan kami diayun gelombang di atas kapal. Akhirnya, terlihat gemerlap lampu di ujung sana. Daratan. Ya.,itu Pelabuhan Gilimanuk. Itu Bali. Hey, sekarang jam 12.30 WITA. Satu jam kami tersita gara-gara kami bergerak melebihi batas per 15' garis Bujur. Selamat hari Kamis buat kamu yang selalu optimis akan janji Allah yang selalu manis.

Kamis, 22 Agustus 2013
Setelah melewati 'bagian imigran' dengan mengecek dokumen kartu tanda penduduk (cuman dicocokkin foto KTP dan wajah kami sekarang), kami resmi menginjakkan kaki di Bali. Dan disambut oleh calo angkot. Hehe.

Saya nggak suka calo angkot. Sometimes they piss me off. Sorry, but it's true. Pun dalam kasus ini, kami ter-delay satu jam di Terminal, menunggu Bli Supir menggerakkan mobil pencahariannya. Empat jam kami dibawa bus menuju Terminal Ubung, Denpasar.

Menunggu di Terminal Ubung, Denpasar

Saya lirik jam, 4.30 WIB berarti jam setengah 6 waktu di Bali. Kami sampai di Terminal Ubung. Menunggu jemputan datang, agar kami dibawanya pulang ke rumahnya. Dan yak, Kompe dateng finally. 6.30 WITA kami sampai di rumahnya. Kami belum sholat shubuh. Jet-lag membuat kami kepayahan akan waktu dan kondisi. Otomatis merebahkan badan barang satu dua jam bakal memulihkan kondisi. We fell a sleep (again).

"woy bangun woy bangun..udah siang ini!"
Suara Pepe itu. Dia sudah datang (lagi). Saya tahu dia telah menunggu sedari tadi. Kami bergegas, tak usah mandi dulu katanya. Kita akan berendam, biar sekalian aja mandinya.

Kami melaju dengan mobil sewaan. Kompe bertindak sebagai supir, didampingi Yudha sebagai co-supir. Menembus Denpasar, di pagi menjelang siang waktu itu. Mampir di warung makan, lawar kuwir menunya. Daging bebek yang dilawar. Entah dilawar itu diapakan, tapi itu enak. Dan halal. InsyaAllah...hehe

Mobil kami lajukan kembali hingga sampai di tujuan. Tirtha Empul namanya, bentuknya pura, dan dibuat untuk wisata religi. Daya tariknya ada pada kolam yang hanya beberapa meter saja dari mata airnya. Selayaknya tempat ibadah, kami harus memakai sarung (atau apalah namanya). Pun ketika berendam di dalam kolam. Setelah dua teman kami bersembahyang, kami semua berendam. Dingin, tapi segar. Aaah, akhirnya setelah seharian kagak mandi, kena air juga badan ini.

Puas berendam dan mandi, kami lanjut ke Pantai Sanur. Disana seharusnya Kompe beribadah waktu itu bersama keluarga dan penduduk desanya. Dan kami pun seharusnya beribadah pula disana. Sholat Dzuhur jama’ Ashar. Kami beribadah bersama akhirnya, dalam satu waktu, tapi tentu saja beda tempat. Ada Masjid dekat Pantai Sanur. Hari itu, sholat pertama di rumah Allah (di Bali). Ada perasaan lega dan bahagia melihat jamaah lain yang sedang bertemu Tuhannya.

Sepulang dari Pantai Sanur, kami makan malam nasi djinggo dan lanjut pulang ke rumah Kompe. Rehat malam ini, mengisi tenaga untuk besok sepedaan. Mengejar sunrise katanya. Harus bangun pagi buta.

“Ini ada pisang, baru diambil dari kebun belakang” kata Ayah Kompe
Menu supper kami hari itu. Dan kami lebih memilih beberes diri: mandi atau berebut tempat tidur di ruangan praktek milik keluarga Kompe. As usual, saya dapat bagian sisa. Pfft.

Hey, sekarang waktunya kami bertemu Tuhan kami: Maghrib jama’ Isya!! Tidakkah kau rindu bertemu dengan Nya?

Ditulis saat menuju Bandung

Friday, September 13, 2013

Menuju Minor

Mimpi saya berhasil terwujud. Mimpi yang mana? Ah, saya terlalu banyak mimpi ternyata. Mimpi menjadi seorang minor. Minoritas di suatu lingkungan. Aneh kan? Entah kepikiran darimana bisa sampai punya mimpi kayak gitu, jangan ditanya.

Pastinya,mimpi itu ya mungkin (sudah) terwujud sebelumnya. Mungkin. But heey, it's coming true. It was real...

Saya jadi minoritas Muslim di Bali. Diapit para pemeluk taat ajaran Hindu. Walau tak lebih dari sepekan disana, tapi minoritas itu memahamkan dan menyadarkan saya satu dua hal.

Saya bisa merasakan cinta dan rindu akan sholat berjamaah di masjid. Sungguh sangat nikmat dan indah rasanya ketika kita berjumpa dengan saudara kita yang seiman. Memakai baju muslim di tengah-tengah pakaian adat Bali. Aaah.,rasanya ingin sekali bertukar pandang dan bertukar cerita tentang kehidupan mereka.

Rasa rindu akan nikmatnya beribadah, kemudahan-kemudahan untuk beribadah, dan tetap menjaga kesucian diri merupakan cerita berikutnya. Gimana rasanya ketika kewajiban dan kebutuhan kita nggak dipenuhi saat kewajiban itu harus segera terpenuhi saat itu juga. Aaah, begitu rasanya was-was dan tak enak saat hal pokok belum terbayar. Dan begitu rasanya lega saat hal pokok itu sudah terbayar.

Suatu hari, akan ada hari, pekan, bulan atau tahun dimana saya merasakan minoritas lagi: menjadi minoritas Muslim. Melangkah dari zona aman dan menjadi agen Muslim yang senantiasa menyebarkan nilai-nilai Islam.
.....

Fariz Dwi Pratama namanya. Dia yang pertama kali berkicau (atau lebih tepatnya mengeluh) akan liburan sepuasnya terlebih dulu ketika beban Tugas Akhir terpenuhi dan mendapat gelar Sarjana. Tak mau dia beranjak ke beban berikutnya: Mencari Kerja. Itu pun yang ada di pikiran saya waktu itu. Menikmati pasca-TA dengan membuang penat, dan melepas rutinitas agaknya menjadi daya tarik tersendiri untuk segera dipenuhi. Tentu, saya meng-amini kicauannya. Hahaha

Saat itu, ada kami bertiga. A.A Kompyang Giri Sutha orang ketiga di ruangan itu. Panggil saja Kompe. Tak perlu ditanyakan apa yang kami lakukan, saat itu jelas obrolan TA jadi trending topic di lab bagi mahasiswa angkatan kita. Ah ya..saat itu kami masih mahasiswa. Dan, Kompe menimpali dengan membuka opini: “Liburan ke Bali, bertandang ke rumahnya.”

Why not?

.....

Yasir Chairuman Tasa. Orang yang kami ajak, bernasib sama: tak mau ambil beban terlebih dahulu setelah melepas beban TA. Sore itu, sembari menunggu berbuka puasa dia mengajak kami bertiga membuat planning liburan. Jika yang disebut planning adalah bagaimana keluar dari pulau Jawa dan kembali lagi ke pulau Jawa setelah beberapa hari. Karena beberapa hari yang bukan di pulau Jawa sama sekali tidak kami rencanakan. Hah, mungkin ‘tak terencana’ adalah bagian dari rencana kami waktu itu. Haha. Rencana selesai, kami jual pada teman-teman yang lain: tertarik? Mau berlibur bersama? Karena butuh komitmen dan secuil sentakan yang pasti beresiko, pada akhirnya, hanya ada dua orang yang berlibur bersama kami: Yudha Ryandieka dan Lerry B. Nugraha.

....

Jogjakarta, 20 Agustus 2013
Kami tetapkan Kota Pelajar itu sebagai tempat berkumpul. Fariz yang pertama kali sampai disana, siang hari dia sampai. Saya dan Yasir baru menyusulnya malam kemudian. Karena kereta baru akan berangkat esok hari, kami bertiga harus sudi bermalam di Jogja agar tak tertinggal. Kami berdua bermalam di rumah Arief Hidayatullah, teman kami yang kebetulan sedang di rumah. Sedangkan Fariz, dia bermalam di kosan temannya.

Dua orang berikutnya datang keesokan harinya: Yudha dan Lerry. Bertolak dari Bandung dan sampai di Jogja subuh-subuh. Lengkap sudah kami berlima.

Stasiun Lempuyangan, Jogjakarta, Selasa 21 Agustus 2013 awal keberangkatan kami menggali cerita di pulau Bali. Perjalanan kami berlima bermula dari sini.

Saya lirik jam. 7:58a kereta mulai bergerak.

Di depan Kereta Sri Tanjung, Stasiun Lempuyangan Jogjakarta
Yasir, Fariz, Adit

Yudha, Lerry

#Saat pulang dari Jogja menuju rumah.
 
Copyright (c) 2010 Bermula dari Awal and Powered by Blogger.