Mimpi saya berhasil terwujud. Mimpi yang mana? Ah, saya terlalu banyak
mimpi ternyata. Mimpi menjadi seorang minor. Minoritas di suatu lingkungan.
Aneh kan? Entah kepikiran darimana bisa sampai punya mimpi kayak gitu, jangan
ditanya.
Pastinya,mimpi itu ya mungkin (sudah) terwujud sebelumnya. Mungkin. But
heey, it's coming true. It was real...
Saya jadi minoritas Muslim di Bali. Diapit para pemeluk taat ajaran
Hindu. Walau tak lebih dari sepekan disana, tapi minoritas itu memahamkan dan
menyadarkan saya satu dua hal.
Saya bisa merasakan cinta dan rindu akan sholat berjamaah di masjid.
Sungguh sangat nikmat dan indah rasanya ketika kita berjumpa dengan saudara
kita yang seiman. Memakai baju muslim di tengah-tengah pakaian adat
Bali. Aaah.,rasanya ingin sekali bertukar pandang dan bertukar cerita tentang
kehidupan mereka.
Rasa rindu akan nikmatnya beribadah, kemudahan-kemudahan untuk beribadah,
dan tetap menjaga kesucian diri merupakan cerita berikutnya. Gimana rasanya
ketika kewajiban dan kebutuhan kita nggak dipenuhi saat
kewajiban itu harus segera terpenuhi saat itu juga. Aaah, begitu
rasanya was-was dan tak enak saat hal pokok belum terbayar. Dan begitu rasanya
lega saat hal pokok itu sudah terbayar.
Suatu hari, akan ada hari, pekan, bulan atau tahun dimana
saya merasakan minoritas lagi: menjadi minoritas Muslim. Melangkah dari zona
aman dan menjadi agen Muslim yang senantiasa menyebarkan nilai-nilai Islam.
.....
Fariz Dwi Pratama namanya. Dia yang pertama kali
berkicau (atau lebih tepatnya mengeluh) akan liburan sepuasnya terlebih dulu
ketika beban Tugas Akhir terpenuhi dan mendapat gelar Sarjana. Tak mau dia
beranjak ke beban berikutnya: Mencari Kerja. Itu pun yang ada di pikiran saya
waktu itu. Menikmati pasca-TA dengan membuang penat, dan melepas rutinitas
agaknya menjadi daya tarik tersendiri untuk segera dipenuhi. Tentu, saya
meng-amini kicauannya. Hahaha
Saat itu, ada kami bertiga. A.A Kompyang Giri Sutha
orang ketiga di ruangan itu. Panggil saja Kompe. Tak perlu ditanyakan apa yang
kami lakukan, saat itu jelas obrolan TA jadi trending topic di lab
bagi mahasiswa angkatan kita. Ah ya..saat itu kami masih mahasiswa. Dan, Kompe
menimpali dengan membuka opini: “Liburan ke Bali, bertandang ke rumahnya.”
Why
not?
.....
Yasir Chairuman Tasa. Orang yang kami ajak,
bernasib sama: tak mau ambil beban terlebih dahulu setelah melepas beban TA.
Sore itu, sembari menunggu berbuka puasa dia mengajak kami bertiga membuat planning liburan. Jika yang disebut planning adalah bagaimana keluar dari
pulau Jawa dan kembali lagi ke pulau Jawa setelah beberapa hari. Karena beberapa
hari yang bukan di pulau Jawa sama sekali tidak kami rencanakan. Hah, mungkin
‘tak terencana’ adalah bagian dari rencana kami waktu itu. Haha. Rencana
selesai, kami jual pada teman-teman yang lain: tertarik? Mau berlibur bersama?
Karena butuh komitmen dan secuil sentakan yang pasti beresiko, pada akhirnya,
hanya ada dua orang yang berlibur bersama kami: Yudha Ryandieka dan Lerry B. Nugraha.
....
Jogjakarta, 20 Agustus 2013
Kami tetapkan Kota Pelajar itu sebagai tempat berkumpul.
Fariz yang pertama kali sampai disana, siang hari dia sampai. Saya dan Yasir
baru menyusulnya malam kemudian. Karena kereta baru akan berangkat esok hari,
kami bertiga harus sudi bermalam di Jogja agar tak tertinggal. Kami berdua
bermalam di rumah Arief Hidayatullah, teman kami yang kebetulan sedang di
rumah. Sedangkan Fariz, dia bermalam di kosan temannya.
Dua orang berikutnya datang keesokan harinya: Yudha dan
Lerry. Bertolak dari Bandung dan sampai di Jogja subuh-subuh. Lengkap sudah
kami berlima.
Stasiun Lempuyangan, Jogjakarta, Selasa 21 Agustus 2013
awal keberangkatan kami menggali cerita di pulau Bali. Perjalanan kami berlima bermula dari sini.
Saya lirik jam. 7:58a kereta mulai bergerak.
Di depan Kereta Sri Tanjung, Stasiun Lempuyangan Jogjakarta |
Yasir, Fariz, Adit |
Yudha, Lerry |
#Saat pulang dari Jogja menuju rumah.
0 comments:
Post a Comment