*Bunyi alarm*
Jam 5.15a WITA saya terbangun, masih pagi sekali saat
itu. Tak ada semburan merah-orange khas fajar. Semuanya masih gelap. Ambil
wudhu, saya sempatkan sholat dua rakaat. Tak lama kemudian, adzan shubuh
berkumandang. Sayup-sayup. Jangan bayangkan seperti suara yang biasanya kita
dengar di rumah: saling bersaut-sautan antar masjid satu dengan yang lain dan menggema karena gedung-gedung tinggi. Disini,
bisa mendengarnya saja sudah beruntung. Kau tahu, itu adalah suara adzan
pertama yang kami dengar di pulau ini. Bali.
Segera kami bergegas akan beraktifitas pagi itu: bersepeda. Hey,
guest star kita sudah datang
pagi-pagi sekali: Pepe dan Astawa sembari menunggu 'dandan' kami dengan menyantap
kudapan Bali bersama teh hangat. Menit berikutnya, kami memilih sepeda. Mine? Sepeda lipat kecil yang nanti akan
saya ceritakan betapa ....... memilih sepeda jenis ini.
Pukul 5.49 WITA mulai mengayuh sepeda
Sebagai tuan rumah dan tuan pulau, Kompe tentu
berada di depan rally sepeda ini: pemandu jalan.
Bahkan tujuannya saja kami tak tahu. Dibawa ke sarang buaya pun kami ikuti
(yang ini nyata loh ya, bukan melebihkan). Hahaha
Suasana Jum'at pagi waktu itu sepi, hanya
ramai pasar saja. Sisa-sisa malam sepertinya masih awet jam segini. Barulah
ketika mata sudah bisa membedakan benang merah dan orange dengan benar,
orang-orang mulai bermunculan. Beranjak dari tempat tidurnya. Mencari sarapan,
jalan santai, atau bergegas pergi sekolah.
Akhirnya kami sampai di Pantai Mertasari.
Menikmati sunrise sesaat yang mulai
meninggi. Dari situ, kami lanjutkan mengayuh, menyusuri pesisir pantai tenggara
pulau Bali. Pemandangannya sederhana, sebelah kiri kawasan perhotelan elite,
sebelah kanan adalah pasir putih lengkap dengan riak air laut.
Ternyata, pantai-pantai
ini saling terhubung. Garis pantainya sama. Kami sampai di Pantai Sanur, pantai
yang tak lebih dari 1x24 kemarin jam kami kunjungi. Istirahat barang meluruskan
kaki sambil sarapan pagi. Makan di tepi bantalan pantai. Sambil mengamati air
laut yang mulai pasang seperti mengisi bak air mandi: lama kelamaan makin
tinggi tertutup air. Pemandangan ini makin lengkap dengan pemandangan dua orang
yang sedang galau registrasi. Pffft. A’int
no time for that. Hahaha.
![]() |
Sunrise di Pantai Mertasari |
![]() |
Sarapan di bantalan Pantai Sanur |
Hari ini awal
registrasi kuliah, sedari kemarin dua orang ini (Yudha dan Lerry) berniat
bangun pagi-pagi sekali untuk berebut mata kuliah dengan ratusan orang diluar
sana. Tapi nyatanya, akumulasi capek perjalanan dan jet-lag membuat mereka susah terjaga dari mimpi indahnya. Dan galau
ini akan terus berlanjut sampai akhir perjalanan. Mengisi topik pembicaraan
ringan kami, yang tentu harus melewati olokan dan cercaan terlebih dulu.
Puas mengisi
energi, kami lanjutkan perjalanan kami bersepeda menyusuri pantai. Hey,
di daerah yang jauh dari Dayeuh Kolot pun, saya masih saja nemu anak IT Telkom di liburan
ini: berpapasan naik sepeda. What the hell. Stunned. Beliau sahabat
saya sekaligus koordinator satu sub-divisi di organisasi pertama yang satu
ikuti selama di kampus. Butuh waktu sekian detik untuk mengembalikan kesadaran
saya lagi. Aaah, lelucon ini lagi.
Lanjut mengayuh, kami dibawa ke suatu
tempat yang dulunya taman hiburan mirip Dufan di Jakarta atau BCL di Bandung tapi
persis di pinggir pantai. Ingat kata intinya: ‘dulunya’, berarti sekarang hanya
puing-puing bangunan dan semak belukar yang lebih mirip Candi Prambanan pas
pertama kali ditemukan. Mungkin. Nggak keurus,
daun-daun berserakan, berlumut. Dan dulu ada buaya yang lepas dan belum
ditemuin sampe sekarang. (Kan, kami dibawa ke sarang buaya beneran). Warga sini
sih bilang ini tempat yang angker banget. Makanya ketika di dalam taman ini ada
pura, Kompe, Astawa dan Pepe sembahyang disana. Atau mungkin berdoa meminta
tolak bala dari bersepedaan seliweran di taman ini. Segera kami lewati suatu
gapura yang mungkin dulunya adalah gerbang keluar masuk menuju taman hiburan
ini. We’re heading home.
![]() |
Bersepeda di bekas taman hiburan |
OK, medan sepeda
kali ini bukan jalanan setapak di pinggir pantai. Tapi jalan raya. Dengan
sepeda lipat kecil ini plus diameter ban yang kecil, dan jangan lupakan postur
tubuh saya yang tinggi, tingkat ke-cape-an makin meningkat. Bayangin aja, untuk
sekali kayuh dengan sepeda ini, jarak yang di tempuh nggak sejauh yang dicapai dengan sepeda ukuran normal yang
mempunyai diameter ban lebih besar. Walhasil, saya selalu tertinggal di
belakang. Mensejajarkan mereka yang mengayuh santai, setara dengan mengayuh
sepeda ini dengan lebih dari sekedar santai agar tak tertinggal. Menyedihkan. Tapi
justru itu jadi cerita berkesan tersendiri bukan?. J
Pukul 11.00 WITA,
kami sampai di rumah Kompe. Mengakhiri rally
sepeda hari itu selama 5 jam 11 menit.
Pukul 12.30 WITA Sholat Jum'at
Pantang bagi saya memakai pakaian yang biasa:
baju kaos dan celana jeans. No way.
Ini hari Jum'at. Saya siapkan baju terbaik yang saya bawa dengan celana no
jeans. Saudara-saudara kita penghuni asli pulau ini saja bangga dan selalu
memakai pakaian istimewanya ketika melakukan ibadah. Cantik-cantik, ganteng-ganteng. Saya
sebagai tamu, sebagai Muslim, tak mau tertinggal: mengenakan baju Muslim terbaik yang saya bawa.
Harus makin ganteng. Mungkin sedikit berlebihan atau lebay, tapi itu beneran
terjadi. Ego minoritas saya berhasil keluar. Kami berlima berangkat menunaikan kewajiban Muslim kami.
Masjidnya cukup jauh, jadi kami gunakan sepeda motor. Dan lihatlah, melihat dan
bertemu saudara semuslim bergegas menuju masjid lengkap dengan atribut
ibadahnya itu pemandangan yang luar biasa sekali. Sangat.
Jauh-jauh ke pulau Bali, ternyata sholat
Jum'at di Masjid An-Nur juga (masjid An-Nur adalah masjid samping kosan saya di
Bandung. Yang berarti, hampir tiap sholat Jum'at dan fardhu selama di Bandung,
saya jadi jama'ah setianya). Itu adalah sholat Jum’at perdana seumur hidup saya di pulau yang minoritas
Muslim. Dan semoga bisa saya rasakan lagi. Semoga.
Agaknya letih sehabis bersepeda nggak cukup dipulihkan dengan istirahat
satu jam dan tidur ayam saat khotbah tadi. Nyatanya, kami memilih menambah
porsi tidur siang dari jadwal yang sudah disepakati bersama untuk move on ke perjalanan selanjutnya. Dan
tentu, ada resiko yang harus ditanggung akan hal itu. Kami baru berangkat jam 4.02p WITA menuju destination berikutnya.
Pukul 6.13p WITA
kami sampai di Karma Kandara. Pantai yang letaknya di selatan pulau Bali.
Percis menghadap ke Laut Selatan. Untuk menuju pasir putihnya, kami harus
menuruni tebing terlebih dahulu. Menuruni tangga. Kalau boleh saya bandingkan,
Karma Kandara adalah Cliff of Moher-nya Indonesia. Hehehe. Sayangnya, resiko
berangkat lebih sore baru kami rasakan sekarang: kami nggak bisa berenang di pantai karena matahari di ujung sana sudah
mengantuk, pergi menuju tempat peristirahatannya. Suasana pantai makin gelap. Nggak baik memaksakan berenang
malam-malam. Kami putuskan segera naik. Ah ya..naik kawan! Belum pulih benar
capek bersepada tadi pagi (dengan sepeda kecil), sekarang harus naik bukit di
sore harinya. Sepertinya ini ganjaran duduk selama 13 jam di kereta Sri
Tanjung.
![]() |
Pantai Karma Kandara |
Kami lanjutkan
perjalanan, mampir di warung makan Muslim untuk mengisi energi, mampir sebentar untuk berfoto di patung Gatot Kaca (entah apa nama sebenernya). Setelah itu
kami menuju Pantai Kuta. Pantai yang 10 tahun lalu menggemparkan Indonesia,
menjadi headline berita-berita nasional hanya karena tiga huruf: BOM. 9.35p
WITA kami parkir motor kami di pinggiran pantai. Apa yang akan dinikmati dari
suasana pantai ketika malam begini? Entahlah...deburan ombak, semilir angin
darat dan pasir putih mungkin cukup. Akhirnya, kami bereksperimen membuat
projek Light Painting. Bagi pemula,
hasilnya tak sebegitu buruk. Hehehe. Selesai projek, kami bergegas pulang pukul
10.57p WITA. Tak lupa kami sempatkan melongok sebentar monumen Bom Bali.
Kawasan sekitarnya memang ‘pantas’ mendapatkan ‘sepercik api’ menurut aliran
ekstrimis kanan. Musik bervolume keras, lampu disko, joget-joget, dan tentu bir.
Kawasan diskotik elite terbuka sepanjang jalan. What do you expect? Budaya barat malam hari ditempatkan di kawasan
budaya timur seperti ini. Tabu.
![]() |
Mampir di patung Gatot Kaca |
![]() |
Light painting di Pantai Kuta |
Barulah kami
sampai di rumah kompe pukul 11.44 WITA. Menutup perjalanan tiga destinasi sekaligus dalam sehari.
Menjadikan Jum’at hari terpadat dan ter-capek di list perjalanan ini. Kami bebenah, bersiap tidur.
Hey.., kami belum
menyapa dan bertemu Tuhan kami. Sholat Maghrib jama’ Isya.