Monday, August 22, 2011

Garut, Sukalaksana 02 Part Empat (Habis)


Selesai lomba cerdas cermat, langsung saya dzuhur. Dan membantu teman-teman lain di lapangan bola sepak: game terakhir sebelum penutupan. Parade game campuran: menyusun puzzle, balap kelereng, balap balon, masukkin pensil ke lubang dan terakhir pukul air dalam plastik. Seru, kocak, dan rame. Apalagi yang bagian akhir, sensasi perjuangan tuk memecahkan kantong air terasa sekali. Walau bahaya, tapi asyik. Hahahaha. Seperti rasa bangga keluar tak terkendali say tongkat bertemu dengan kantong air yang menghasilkan bunyi ledakan kecil diiringi cipratan air yang keluar bebas. ‘Aaahhh., lega’ parade game selesai.

Ditengah-tengah waktu permainan tiba-tiba ada anak yang mimisan. Darah mengucur dari kedua lubang hidungnya sampai ke bibir. Pemandangan yang sangat tidak kita harapkan. “Sariawan, sariawan” banyak anak yang menyebutnya karna sariawan. Loh., kok sariawan? Halah, mungkin karna darahnya sampai ke bibir, jadi mereka anggap itu sariawan. Kesalah besar. Orang sunda menyebut mimisan dengan sariawan. Hahaha. Memalukan saya ini. Tapi entah kenapa, perasaan yang sama satu tahun silam kembali merasuki saya: Orang bilang jiwa FMT (Food and Medical Team). Hehehe. Entahlah, reflek sepertinya. Saya bawa si anak yang mimisan (sariawan maksudnya) ke Bapak-bapak yang sedari tadi ikut menonton dari atas dekat lapangan voli.

Parade game selesai. Anak-anak kembali ke ruang kelas tempat cerdas cermat (lagi) tuk penutupan. Karna memang belum ada orang yang stand by di ruang kelas, saya inisiatif tuk kesana. Naik ke atas. Nyaris sampai di atas, Mba Eva manggil: “Dit, sini loe!!”. Buset galak amat. Pikir saya dalam hati. Argh, parah, manggil pas nyaris sampai atas. Capek bung. Kesal sekali rasanya. Astaghfirullah.., saya langsung kembali ke bawah tuk menemui Mba Eva dan lain-lain: Ina, Ridhi dan Habib. Ternyata tuk persiapan penutupan. Saya dapet bagian tuk membaca puisi part dua. “Wow., ngga nyangka”. Dulu memang waktu SD saya sering membaca puisi, hanya juara tingkat SD saja. Nostalgia sekali. OK lah. InsyaAllah siap walaupun sudah hampir delapan tahun tidak menyentuh puisi lagi.

Sebelum penutupan, pemutaran video flashback. Hahaha. Lucu, keren, asyik dan rame. Merasa bagian-bagian itu terasa kembali. Dan entah kenapa, rasa sedih mulai terasa. Berikutnya pembagian hadiah tuk para sang juara. Hadiah seadanya dan sengaja bikin banyak. Karna hampir semua anak dapat. Berikutnya performansi dari masing-masing kelas: ada yang mbaca puisi (walau volumenya hanya terdengar oleh telinga sendir), nyanyi lagu bareng-bareng, yel-yel masing-masing kelas. Maen suling (baca:recorder), dan maen drama. Hahaha, lucu keren dan berani. Entah kenapa, rasa sedih itu muncul lagi. Ngga seharusnya muncul sekarang.

Penutupan dimulai: baca puisi “Cerita tentang Mimpiku” karya Mba Eva. Part satu: Ina yang beraksi. Part dua saya sendiri, part tiga: giliran Habib, dan penutup: RIdhi tuk menarik rangkuman acara tiga hari kami. Kami maju dengan membawa lilin yang menyala. Ina mematikan lilin, dan beraksi. Kata-kata puisi karangan Mba Eva berubah menjadi teriakan dan suara pengahayatan pembacanya. Hikmat. Solemn. Saya beraksi, tak lupa mematikan lilin yang saya pegang. Aksi kesurupan Adit versi SD dimulai. Mengubah barisan tinta kata-kata menjadi suara dan penghayatan gerak dan mimic wajah. Cacat. Banyak yang terlewat dan kaku. Argh., padahal ini momen yang sakral. Mengecewakan. Habib mengambil alih posisi. Lilin pun dia matikan. Mulailah suara lantangnya. Kepalan tangan yang meninju-ninju udara, teriakan semangat dan rintihan penuh harap . Bu Euis luluh, air mata mulai telihat dimatanya. Seluruh bagian puisi selesai diungkapkan. Spectacular. Ridhi menyalakan lilin kami kembali. Mengungkapkan kata-kata tanda maksud dan tujuan kami ke sini. Meneriaki para pecundang yang tak mau bermimpi. Menyemangati para pemberani dalam bermimpi. Khidmat. Sedih. Tangisan meledak. Anak-anak yang paling keras tangisannya. “Kami berbicara dari hati Bu, Pak..” satu kalimat yang saya dengar dari Ridhi. Suasana makin naik dalam kesedihan dan penuh harap. Kami tutup dengan lagu “Laskar Pelangi-Nidji”. Menyanyi bersama, berdendang bersama, menyemangati bersama, dan bedoa bersama. Luluh. Hati saya bergetar, entah kenapa. Mungkin efek sedih, senang dan haru yang bertemu secara bersamaan.

Akhir serangkaian acara kami ditutup dengan salam-salaman bersama. Argh., air mata saya tersendat kaku di ujung mata. Nyaris jatuh. Sedih sekali rasanya. “Barakallahu fik.., Semangat ya Adek..” hanya kalimat itu yang keluar tuk buah kenang-kenangan terakhir nagi mereka dari ku. Tak lupa serangkaian doa yang lain saya panjatkan bagi mereka dalam hati. (semoga Allah mengabulkannya. Amiin). Sampai pada saat terakhir, salaman dengan Bu Euis. Haru. Beginilah akhir acara kami. Rintikan hujan diluar ternyata menemani kami dalam proses penutupan. Barokah kah?? Wallahu a’lam…, dan semoga memang hujan itu tanda keberkahan dari Allah. Amiin y Rabb..

Amiiiiin…….

Kembali beres-beres, dan saya putuskan tuk pulang malam itu juga seblum maghrib. Kami ber-enam akan pulang sore itu. Ka Bowo, Mba Eva, Dias, Ali, Habib dan saya. Packing pun dimulai. Pamitan terakhir ke Bu Euis, Fajri, dan Kang Topik. Terima kasih ku untuk mereka. Melalui beberapa proses dan tahapan, kami ber-enam take off jam setengah enam lewat. Ali dan Dias mengambil rute motor. Kami berempat melewati jalan yang sama ketika kami beragkat kemari. Tapi kali ini dibantu dengan dua warga yang kebetulan akan pulang juga. Mereka dengan baik hati membawakan beberapa bawang bawaan kami (Mba Eva dan Habib tepatnya).

Ngga berapa lama kami jalan, adzan terdengar sayup-sayup. Kami berhenti tuk berbuka: hanya air minum saja. Kemudian lanjut lagi perjalan pulang. Suasana mulai gelap. Habib menyalakan senternya, mencoba tuk memberi bantuan ke mata kami agar bisa melihat jalan lebih jelas.  Berhasil. Kami sampai pada rumah warga yang menganrar kami. Berpamitan dan berterima kasih, kami lanjut lagi. Perjalanan baru setengahnya. Gelap pula. Satu hal yang kami ingin hindari adalah: kabut tebal. Alhamdulillah, kami hanya berpapasan dengan kabut yang tidak terlalu tebal saja, dan hanya sebentar saja. Perjalanan berikutnya berasa lebih agak berat. Tanjakan dalam kegelapan. Bahkan kami tidak bisa melihat wajah teman kami dengan jelas. Hal yang bisa mencirikan hanya suara dan postur tubuh saja. Kami berhenti tiap permintaan Mba Eva terlontarkan. Wajar, beliau cewe satu-satunya dalam rombongan pulang ini. Berbagi air, kurma dan makanan lain yang kami bawa. Akhirnya, sekitar 45 menit perjalan, sampai juga di rumah warga tempat kami menitipkan motor. Kami bertiga sholat maghrib, sementara Mba Eva bertugas tuk masuk dan bertemu pemilik rumah tersebut.

Selesai sholat, kembali ke rumah penitipan motor. Bincang-bincang sebentar, mengisi air minum. Dan kami pulang. Pamitan dan Berterima kasih. Sangat bersahabat sekali mereka. Ramah. Persiapan pulang selesai. Kami harus naik ke atas agar kembali ke jalan raya. Berhubung saya naik motor V-Xion, Ka Bowo turut serta tuk berbonceng agar motor Habib bisa lebih mantap dalam tanjakan yang (sangat) curam sekali ini.

Awalnya motor saya kuat dan mantap dalam tanjakan seperti ini. Sampai suatu saat, saya menggunakan gear (baca:gigi) dua tuk naik. Berhasil, tapi sampai di tikungan dan curaman mungkin lebih dari 600 V-Xion saya tiba-tiba mati mesin. Panik. Motor mulai melaju kea rah yang salah:mundur. Makin panik. Sontak rem langsung saya jalankan. Hanya rem tangan (depan) saja yang berhasil saya jalankan, kedua kaki saya tahan tuk menjaga keseimbangan motor. Ka Bowo nampaknya melakukan hal yang sama. Sampai ke suatu saat kecepatan dan keseimbangan motor tidak saling sinkron. GUBRAK. Motor terjatuh ke kiri. Kaki kiri saya tertindih V-Xion. Kepala sedikit membentur jalan aspal. Ngga bisa bergerak.

“Kalian lagi ngapain??” kata yang saya dengar dari Mba Eva. Parah. Tentu saja kami terjatuh. Pertanyaan yang aneh. Ngga peka. Hehehe. Berikutnya Ka Bowo mengangkat motor. Kaki kiri terbebas dari beban V-Xion. Warga datang membantu. Tapi entah kenapa kepala saya pusing. Susah bangun. Linglung. Dibantu bangun sama warga akhirnya. Dan saya diantar sampai naik ke atas: jalan besar oleh warga tersebut. Terima kasih Pak.,jasamu tidak akan saya lupakan. Sesampainya di atas, saya check keadaan tubuh. Luka di sikut kiri dan pergelangan kaki kanan. Perih. Payah sekali. Pamitan dan ucapan terima kasih tuk Bapa yang mengantar saya. Kami lanjut perjalanan. Ali dan dias sudah bergabung. Off we go.

Sepi, gelap dan berkabut perjalanan pulang kami. Rasa sakit di luka yang baru saya dapat mulai terasa. Terkena angin. Tapi tak berapa lama, rasa sakit itu terlupakan oleh suasana perjalanan yang harus mendapat konsentrasi lebih: dingin, waspada, lapar dan siaga. Tikungan-tikungan mulai menyambut, kabut mulai terlihat di samping kanan dan terakadang menghadang di depan. Kecepatan diatur sedemikian rupa agar tak tertinggal dan tetap bersama. Menit berikutnya saya hanya konsentrasi dalam lampu kuning yang menyala berkelip-kelip (baca:lampu sign) yang menandakan tikungan ke kanan atau kiri. Rasa sakit terlupakan. Lupa total.

Sampai ke pemberhentian pertama: Pom Bensin di Pengalengan. Isi bensin, isi perut sedikit dan air minum, sedikit berbincang-bincang. Kami lanjutkan perjalanan. Yang saya ingat adalah: saya mengejar motor di depan saya: Mba Eva agar tidak tertinggal. Menit-menit berikutnya, Motor dibelakang saya yang tertinggal: Habib dan Ka Bowo. Night Rider lebih tepat tuk sebutan kami. Ngebut di jalanan pegunungan. Tikungan-tikungan yang menyambut serasa tak berarti lagi buat saya. Tujuannya: mengejar dan menyusuk motor di depan agar bisa tetap bersama sampai daerah kampus.

Singkat cerita, hanya saya, Mba Eva dan Ali (dengan Dias) yang berhasil bersama sampai daerah kampus. Saya pamitan pertama karna memang rutenya melewati kost saya. “Mba., saya duluan ya.. Salam’alaikun..” Parkir motor di kostan, buka kamar, rasa sakit luka barusan terasa lagi. Jam 8.30p.m. Argh., Isya dan tarawih yang utama. Selesai tarawih., badan langsung minta disegerakan tuk istirahat. Setalah beres-beres dan masukkin motor ke dalam, tidur jam 9.30 p.m.

Kenangan Sukalaksana 2 ditutup dengan sebuah goresan luka yang sampai sekarang pun masih terasa perihnya. Menandakan kenangan kebahagiaan dan serunya petualangan saya dan teman-teman PUDING masih membekas rapi dalam memori dan hati.

SUKALAKSANA 2… KAU TERTAKLUKKAN…

Alhamdulillah……

Keesokannya, saya baru ingat: saya seharian ngga mandi. Hahaha. Memalukan. o_0???

2 comments:

Anonymous said...

ahahaha... nice story diiiittt.... sumpah keren banget, pengen liat aslinya deh pas penutupan di SD dulu, kayaknya seru tuh... :D *marthong

Unknown said...

Martha: ntar lain kali saya ajakn yah., ke Bromo., hahaha
InsyaAllah...

 
Copyright (c) 2010 Bermula dari Awal and Powered by Blogger.